Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Santri Menolak Jargon Kembali ke Al Quran

23 Oktober 2021   07:28 Diperbarui: 23 Oktober 2021   07:39 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada seorang baru membaca terjemahan Al Qur'an kemudian berteriak teriak tentang pemahaman agama yang benar. Padahal, ulama menyatakan terjemahan Al Qur'an bukan Al Qur'an. 

Kelemahan bahasa Indonesia menjadi penyebabnya. Kosan kata dalam bahasa Indonesia baru ratusan ribu. Sedangkan kosa kata dalam bahasa Arab sudah jutaan jumlahnya. 

Penerjemahan dari sebuah bahasa yang sudah kaya ke dalam bahasa yang masih baru terbentuk, jelas menghadirkan banyak distorsi makna. Misalnya saja dalam sebuah kata bahasa Arab ada varian kata hingga 50, misalnya. Sedangkan di dalam bahasa Indonesia hanya ada 5 kosa kata. Apa yang terjadi dalam ketimpangan bahasa seperti itu jika dipaksakan dalam sebuah terjemahan? 

Oleh karena itu, jargon kembali ke Al Quran jika diterjemahkan secara mentah maka akan lahir pembaca pembaca terjemahan yang sok tahu dan merasa paham terhadap Al Qur'an hanya dengan bekal ilmu yang minim bahkan nol. Kembali Al Quran malah menjadi kembali ke terjemahan, yang sekali lagi, bukan Al Qur'an, dalam pengertian yang lebih baik. 

Oleh karena itu, para santri yang dalam kehidupan pribadinya selalu mendasari diri pada Al Quran sering merasa lucu dengan jargon tersebut. "Kami tidak pernah meninggalkan Al Qur'an, kenapa kami harus kembali? "

Wajar jika di pesantren diajari tafsir Al Quran. Tafsir bagi orang awam dianggap sama juga dengan terjemahan. Padahal, dalam tafsir sudah dijelaskan panjang lebar, bahkan tentang maksud di balik teks yang tersuarakan. 

Seseorang dengan ilmu yang minim tentu belum bisa langsung berlari ke Al Qur'an, kecuali akan mengalami banyak kesalahan. Seseorang harus memahami Al Quran dari tafsir-tafsir yang sudah dilakukan oleh ulama ulama terdahulu. 

Berbagai macam tafsir tersedia di pesantren. Paling terkenal tentunya tafsir Jalalain. Melalui tafsir tersebut para santri berjalan menuju ke pahaman Al Qur'an. 

Karena jalan memahami Al Quran dilakukan oleh para santri melalui buku buku tafsir, maka hingga saat ini tidak ada santri yang menjadi fundamentalis dan bertindak dengan perasaan paling benar sendiri. Mereka sudah belajar banyak hal dari perbedaan pemahaman dalam buku buku tafsir. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun