Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tinggal Sepi yang Abadi

25 Juni 2021   15:39 Diperbarui: 25 Juni 2021   15:55 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamu terlalu jauh berjalan sehingga lupa jalan pulang. 

Tidak. Aku tidak ingin pulang, bukan tak tahu jalan pulang. 

Dan laki-laki itu terus melangkah menyusuri trotoar yang oleh gubernur sekarang sudah ditata rapi. Beberapa pengamen bernyanyi dengan suara yang sangat mempesona. 

Ketika laki-laki itu nyaris duduk di salah satu bangku yang terjejer begitu rapi sepanjang trotoar, mendadak ia membatalkannya. Seakan ada ingatan yang menghentak dirinya untuk tidak lupa tujuannya. 

Sudah kubilang jangan terlalu jauh melangkah. 

Belum sampai akhir. Ini aku masih terus melangkah. 

Perempuan itu sebetulnya masih berharap agar laki-laki itu tak lupa jalan kembali. Masih terlalu banyak kisah yang bisa diselamatkan jika laki-laki itu mau kembali. 

Perempuan itu tak akan lagi seperti dulu. Akan memaafkan segalanya. Biarlah waktu terus berjalan. Kita tatap lurus ke depan. Terlalu banyak tengok akan berakibat tersesat pula. 

Dia masih terus menunggumu. 

Bukan. Dia menunggu harapannya sendiri yang sudah semakin layu. 

Pada awalnya cuma langkah pertama. Akan tetapi, tak mungkin ada langkah kedua jika langkah pertama belum pernah dilakukan toh? 

Tidak. Laki-laki itu tidak pernah dan tidak akan pernah menyesali. Langkah pertama, kedua, maupun ketiga. Bukan jerumusan setan. Bukan. Dirinya masih siap dan kuat untuk bertanggungjawab. 

Temaram lampu jalanan Jakarta membuat suasana cenderung romantis. Akhir akhir ini tak lagi hujan. Mungkin karena sudah bulan Juni. Hujan bulan Juni cuma terjadi di Puisinya Sapardi. 

Satu dua pasangan yang duduk di bangku trotoar melirik laki-laki itu. Ketika laki-laki itu cuma laki-laki biasa, mata mereka langsung ditarik kembali. 

Jadi nginap di sini? 

Hanya mengangguk. 

Tak ragu lagi? 

Dia hanya menarik dagunya. 

Pintu apartemen itu ditutup dengan pelan sekali. Keduanya berjalan beriringan. Segalanya fana. Tinggal sepi yang abadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun