Sore yang gerimis membuatku enggan untuk cepat cepat pulang. Apalagi Jakarta selalu menjengkelkan kalau sore gerimis.Â
"Andre? "
Aku tatap mata itu. Sebuah mata yang benar benar sangat indah untuk dinikmati pagi, siang, sore, bahkan malam hari.Â
"Andre? "
Dan aku sadar kalau aku tak boleh terpana seperti itu. Tapi, mata itu benar-benar masih mempesona. Sangat mempesona.Â
"Kok kamu di sini? "
"Emang dilarang ya? "
"Bukan begitu. Aku baru melihatmu sore ini. "
Bulan duduk di depanku. Tepat di depan ku. Matanya tepat lurus menusuk mataku. Dan aku masih saja kikuk jika menemui mata itu sedang memandang mataku juga.Â
"Memang."
Dan aku tak bisa bicara apa-apa lagi. Kecuali menikmati matanya itu. Sudah terlalu lama kita berpisah. Sudah terlalu lama aku merindukan mata itu.Â
"Aku perlu bantuan mu. "
Dan malamnya aku antar bulan ke tempat tinggalnya yang baru. Sebuah apartemen di pinggiran Jakarta.Â
Lama sekali aku ngobrol. Seperti dulu. Dulu sekali.Â
"Nginep ya? "
Aku lupa menjawab apa. Tapi, Bulan kemudian terasa begitu dekat. Dekat sekali.Â