Banyak yang bilang, untuk mengukur keberadaban sebuah masyarakat, cukup melihat bagaimana tingkah masyarakat tersebut di jalanan.Â
Jika di jalanan beradab, maka sudah pasti di tempat lain pun sangat beradab. Demikian juga sebaliknya, segede ngomong nya tentang keberadaban, jika di jalanan semrawut, maka segala nya cuma omong kosong.Â
Ketika lebaran, saya pulang kampung. Pada saat ada lampu merah dan melihat ada pengendara sepeda motor yang berhenti melewati garis putih, dapat dipastikan jika pelanggar aturan itu orang Jakarta yang sedang pulang kampung. Karena setiap hari, orang orang di kampungku selalu mengedepankan adab. Termasuk adab berhenti sebelum garis putih karena akan menggangu pejalan kaki jika sebuah motor nelewati atau malah berhenti tepat di atas garis putih.Â
Orang orang Jakarta berbeda. Entah kenapa. Garis putih tak pernah dihiraukan. Selalu akan berhenti di depan motor yang sudah berhenti duluan. Bahkan beberapa sudah menyebrang jauh dari garis putih.Â
Perempatan Jakarta selalu semrawut. Selalu ada keinginan untuk cepat cepat saja. Tak ada aturan lalu lintas yang tak dilanggar. Bahkan jika Anda mengendarai motor di Jakarta dan berhenti di belakang garis putih ketika berada di perempatan, maka Anda akan diklakson berkali-kali oleh pengedara motor di belakang Anda.Â
Semua warga Jakarta tentu ingin sekali Jakarta menjadi lebih tertib. Bukan lagi seakan hidup di dunia tanpa aturan.Â
Polantas seharusnya memang memperhatikan hal ini. Bagaimana jalanan Jakarta bisa menjadi lebih beradab lagi.Â
Saya yakin hal seperti ini dapat dilakukan oleh polantas. Apalagi polantas sudah tak terbebani lagi oleh keharusan melakukan tilang. Sehingga lebih bisa berkonsentrasi menertibkan jalanan Jakarta.Â
Tak cukup jumlah polantas untuk mengkover seluruh wilayah.Â
Tidak harus serentak. Mulai lah dari Jakarta Pusat dulu. Ketika Jakarta Pusat mampu tertib dengan baik, baru kembangkan ke seluruh penjuru Jakarta.Â