Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Nadiem Orang Baik, Kenapa Kursinya Hendak Kau Rebut?

30 Juli 2020   06:05 Diperbarui: 31 Juli 2020   11:19 17722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.COM / KRISTIANTO PURNOMO

Ketika Jokowi memilih Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dan Fachrul Razi sebagai menteri agama, saya termasuk orang yang kaget sekaligus bangga. 

Sudah terlalu biasa kalau kursi pendidikan dan kebudayaan diberikan kepada representasi Muhammadiyah. Sudah terlalu biasa juga kursi menteri agama diberikan kepada representasi NU. 

Persoalan, apa pun itu, jika selalu dilihat dengan kacamata biasa, maka sulit untuk dilakukan atau melakukan perubahan. Orang luar justru yang bisa melihat persoalan dengan kacamata beda. Kacamata baru. Dan dapat tanpa beban melakukan perubahan. 

Dan Nadiem Makarim sama sekali bukan orang yang dikenal sebagai orang dekat dunia pendidikan. Belum ada kiprah apa-apa. Nadiem malah identik dengan gojek. Aplikasi yang juga tak berhubungan langsung dengan pendidikan. 

Gebrakan Nadiem bagus. Paling tidak rentetan gebrakan mulai dari murid merdeka adalah perubahan yang selama ini banyak diharapkan.  

Misalnya saja, penghapusan Ujian Nasional. Berpuluh-puluh tahun kritik dialamatkan ke praktik Ujian Nasional yang lebih banyak mudhorotnya tinimbang manfaatnya. Tapi, tak ada menteri pendidikan yang berani mengapusnya kecuali Nadiem. 

Akreditasi yang tak perlu dilakukan terus menerus hingga antreannya menjadi panjang dan menyusahkan. Akhirnya, akreditasi hanya menjadi akal akal-akalan karena selalu disiasati oleh semua kalangan secara instan. Bahkan, ada yang menganggap akreditasi cuma bisnis brlaka. 

Kemudian juga persyaratan pembukaan jurusan baru yang lebih ringan. Ada teman yang mengeluh persoalan pendirian jurusan baru yang katanya harganya bisa milyaran walaupun banyak yang siluman. 

Peristiwa oknum dari UNJ yang mengumpulkan uang dari para dekan untuk disetor ke oknum di kementerian pendidikan dan kebudayaan adalah cermin masih perlu banyak perbaikan di kementerian yang mengurusi penghuni masa depan tersebut. 

Kemudian masalah POP.. Semoga Muhammadiyah memang sedang melakukan kritik konstruktif sehingga ketika kritik sudah sampai Muhammadiyah akan kembali bersama Nadiem membangun dunia pendidikan lebih baik. Jangan sampai Muhammadiyah akan dikesankan sedang berupaya merebut kursi yang sempat terlepas dari tangannya. 

Persoalan PJJ memang persoalan yang tak terprediksi oleh siapa pun. Ia datang begitu saja. Jika negara negara maju saja kuwalahan apalagi negara dengan budaya yang masih goyah seperti negeri kita. 

Tak adil jika dengan PJJ dijadikan alat untuk membalas oleh para mafia untuk menghantam orang baik seperti Nadiem dalam upaya dia membangun pendidikan yang lebih baik dengan kerja tulus tersebut. PJJ memang masih belum ideal. Dan Nadiem sudah cukup bertindak. 

Nadiem sudah memberikan kewenangan yang besar kepada kepala sekolah dalam pengelolaan keuangan BOS. Kelonggaran penggunaan uang BOS memang sangat dibutuhkan untuk menghadapi PJJ ini. 

Sayang, justru Pemda pemda yang minimal tindakan. Mungkin masyarakat tidak tahu penuh bagaimana pendidikan dikelola. Pendidikan tidak melulu urusan kementerian pendidikan dan kebudayaan. 

Masalah guru saja sudah diotonomikan. Guru sudah menjadi pegawai pemda. Dikendalikan dan diatur pemda. Ketika PGRI mengaitkan guru honor dengan POP dan kementerian pendidikan, maka nuansa yang terlihat adalah muatan politis dipastikan dalamnya. Karena PGRI sendiri pasti sudah tahu bahwa kewenangan pengangkatan ada di pemda. 

Nadiem sendiri sudah melakukan tindakan sesuai kewenangan dia yang pada masa pandemi ini kuota BOS untuk guru honorer juga ditingkatkan menjadi 50 persen. 

Lalu, ketersediaan internet. Apakah ini juga urusan Nadiem? 

Ini kebijakan di luar kementerian pendidikan dan kebudayaan. Jika dialamatkan ke Nadiem, jelas hanya akan menunjukkan kebodohan penulis alamat. 

Seandainya, anggaran DKI digunakan juga untuk penyediaan internet murah. Seandainya, APBD Bekasi, Depok, Tangerang Selatan, dan Tangerang (untuk sekadar menyebutkan kota-kota kaya) juga disisihkan untuk penyediaan kuota internet murah. Maka problem internet saat PJJ tak akan seperti sekarang ini. 

Di sekolah sendiri, bantuan internet saat PJJ hanya dari dana BOS, sedangkan dana BOP atau dana dari pemda belum diutak-atik sama sekali untuk kegiatan internet PJJ . 

Atau kalau di daerah yang siswa-siswinya harus naik gunung atau harus menjual keperawanannya untuk membeli kuota internet PJJ, apakah pemdanya sudah melakukan sedikit tindakan? Pasti Anda akan menjawab dengan geleng-geleng kepala. 

Nasib menteri nonpartai memang selalu diujung tanduk. Kursinya tak pernah berhenti kena goyang. Terlalu seksi memang kursi kementerian pendidikan dan kebudayaan. Terlalu banyak yang mengincar. 

Mari kita dukung Nadiem. Dia orang baik. Ketika dianggap salah, dia rela datang ke Muhammadiyah untuk meminta maaf dan berjanji memperbaiki. 

Haruskah orang baik dikalahkan?

Dok. Pri
Dok. Pri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun