Aku melihat namamu di kertas suara itu setelah begitu lama mengeja deretan huruf yang memusingkan mataku yang sudah mulai rapuh ini
Lima tahun yang lalu, kamu sudah memasan agar aku betul-betul menusukkan paku ke atas namamu dengan hati-hati sekali karena jika robek maka suara ku tak berarti apa-apa
Sambil mengangkat paku aku membayangkan wajah memelasmu karena telah berkali-kali gagal ingin duduk dihormati digedung menjulang di senayan sana
Aku juga tahu, jika deretan nama-nama di kertas suara yang begitu panjang dan memusingkan orang yang membacanya itu juga wajah wajah seperti wajahmu, wajah wajah memelas ingin menuju ruang tempat persekongkolan sering terjadi
Anakku, Â apa tak sebaiknya kamu tak usah bermimpi untuk menjadi penghisap negeri dan sebaiknya tak jadi?Â
Pelan pelan aku lempar kan paku dan bayangan wajah mu, aku ingin kau tetap anakku