Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kesederhanaan Jokowi dan Kyai Ma'ruf sebagai Alasannya

20 Februari 2019   17:01 Diperbarui: 20 Februari 2019   17:40 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diambil dari Subekti/tempo

Sebagai orang biasa, saya merasakan bagaimana hidup sebagai orang biasa. Hidup sebagai orang khalayak. Dan tak mungkin orang kelas atas bisa merasakan denyut hidup orang biasa. Kecuali hanya untuk pencitraan seolah-olah orang biasa padahal di belakangnya mewah-mewahan di luar biasa pakai buanget lagi. Hanya orang biasa yang bisa merasakan denyut orang biasa.

Kesederhanaan adalah denyut paling nyata dalam kehidupan orang khalayak rakyat biasa. Baik karena keterpaksaan hidup atau kehendak hidup dari si pelaku. Karena orang biasa adalah mereka yang hidup sederhana. Dalam wujud fisik maupun pemikiran. Untuk apa melewati batas kesederhanaan jikalau hanya membuat pening otak dan grungsang ati.

Pemimpin sering menjual keserhanaan. Seolah-olah dia sederhana. Hidup sederhana. Juga berpikir sederhana. Tapi, jika dia bukan warga kaum khalayak, maka pura-pura itu akan terlihat juga. Wong, hidup dan berpikir sederhana itu ketok etok jelas. Apalagi jika hanya untuk mencari pemilih dalam perebutan kekuasaan yang menggiurkan.

Jokowi itu tak punya trah. Jokowi itu orang biasa. Sehingga kesederhanaan hidupnya bukan sebuah kepura-puraan. Kesederhanan beliu tampak natural. Mukenye aja tampak sederhana. Gak neko-neko. Gak ulah-ulah. Ngomong yo opo onone. Jalan pikirane yo sedeng. Pengin rakyat negeri ini sejahtera. Paling tidak, kepahitan hidup beliau adalah pengalaman yang sudah masuk dalam memori bawah sadar dan menjadi pemicu untuk selalu membuat kehidupan orang di sekitarnya, yaitu rakyat negeri ini bisa lebih baik.

Kalau Bapak Jokowi membaur dengan rakyat, tak ada yang beda. Muka desa itu tak mungkin disulap menjadi muka kota. Muka sederhana itu tak mungkin bisa diubah menjadi muka culas model politikus Senayan yang sudah meninggalkan nuraninya di pintu gerbang. Bapak Jokowi itu rakyuat yang cuma kebetulan jadi presiden saja. Tak kurang dan tak lebi.

Kyai Maruf memang agak beda. Kyai Maruf punya trah keturunan kyai. Ada sedikit beda. Tapi ya gitu, deh. Trah kyai mah suka lebih rakyat daripada rakyat di sekitar kehidupannya. Kyai juga wajah kampung, hanya beda ilmu agamanya belaka. Dan semakin kyai memang semakin sederhana. Gak ada kyai yang petentengan dengan mobil baru kecuali mereka yang cuka ngustad-ngustadan belaka.

Kyai, sehebat apa pun justru akan semakin megkhalayak. Semakin kehilangan ekslusifitasnya. Bahkan untuk para waliyullah, lebih sering menghinakan dirinya sehina hinanya sehingga orang siapa pun sudah bakalan tak mampu menghinakannya lagi karena dia sudah pada posisi paling dasar.

Kyai Maruf juga cermin keserhanaan seorang ulama. :Lihat saja, bagaimana petakilannya mantan preman saat didaulat atau bahkan mendaulatkan diri hingga menyebut jumlah ayat dalam sebuah surat saja kelebihan. Surat yang hanya memiliki 111 ayat, dia kutip ayat ke 176-nya. Gila kan Iya. Jika kamu orang normal. Tapi hal biasa bagi orang tak normal.

Kemana-mana yo cuma modal sarung. Pakaian yang selalu menjadi ciri khas santri, hingga zaman post milenial sekali pun. Jangan tanya keserhanaan sarung pada siapa pun, karena akan tampak lucu jika ditanyakan sebab memang tak ada lagi yang lebih sederhana seperti kesederhanan sebuah sarung.

Jokowi dan Kyai Maruf adalah keserhanaan. Adalah sebuah khalayak. Adalah manusia biasa dari kalangan biasa. Mereka yang tahu denyut jutaan rakyat negeri ini yang juga hidup dalam kesederhanaan. Apakah ini belum cukup sebagai penanda keamanahan kelak saat terpilih kembali menjadi pemimpin negeri ini?

Keserderhaan mereka sudah terlalu jauh merasuk dan merangsek ke dalam jiwaku. Keserdahanaan yang tak dibuat-buat karena selama hiduopnya memang begitu. Bukan orang yang pas baru lahir saja sudah kaya raya. Jika ada yang mengaku sederhana tapi selama ini hidupnya mewah bahkan memiliki lahan hingga melebihi luas negara di Eropa, atau melebih Jakarta, mana mungkin dia bisa hidup sederhana. Jika seseorang sudah punya simpanan di bank luar negeri sebagai pengamanan aset sewaktu waktu dan penghindaran pajak juga, apakah dia bisa hidup sederhana dalam kesungguh-sungguhan? Pasti hanya politis. Dan yang politis dan pura-pura sebaiknya disingkirkan saja.

Semoga Indonesia lebih baik dalam sebuah kehidupan yang sederhana dari para pemimpinnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun