Aku hidup di kampung nan udik. Â Kalau kamu bawa mobil, dan bermaksud berkunjung ke kampungku, maka mobilmu hanya bisa sampai jalan ujung aspal. Â
Disebut ujung aspal karena aspal baru sampai di situ. Â Untuk seterusnya, jalan tanah. Â Yang becek dan licin kalau hujan. Â Berdebu kalau kemarau.
Tak ada yang bisa dibanggakan dari kampung ku. Â Lebih banyak yang bisa diketawakan.
Dasar orang ujung aspal, kata orang orang yang posisi rumahnya agak ke kota jika marah pada tingkah orang kampung ku.
Tak pernah kami marah. Â Umpatan mereka memang benar. Â Sekolah SD saja, kami sudah bangga. Â Kalau mau SMP, harus ke kota kecamatan. Â Tak mungkin sekolah di sana kecuali ngekos. Â Sementara, uang kami tak punya.
Hanya ada satu yang membanggakan kami. Â Ada satu orang yang bisa menjadi anggota dewan di kabupaten.
Warsidi.
Sejak kecil dia sudah berpetualang. Â Pergi ke kota. Â Entah kerja apa. Â Tapi memang, waktu pertama kali pulang setelah puluhan tahun merantau dan hampir tak ada yang ingat namanya lagi, warsidi pulang dengan membawa mobil sedan.
Mobilnya tak bisa sampai kampung. Â Kami, warga kampung yang ramai ramai mendatangi mobilnya di Ujung aspal. Â Hanya untuk menyentuhnya.
Warsidi sudah kaya.
Lalu saat ada pemilu, dia ikut daftar. Â Ternyata jadi juga. Â Warsidi pak dewan. Â Atau kami memanggilnya cukup dengan Pak Dewan.