Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti

13 Maret 2018   17:16 Diperbarui: 13 Maret 2018   18:50 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semoga salah satu dari perempuan ini menjadi wapres.

Ketangguhan pada laki-laki sudah biasa.  Pada perempuan sering dianggap luar biasa.  Justru perempuan-perempuanlah yang lebih tangguh laki-laki.  Tapi, perempuan-perempaung tangguh itu tak pernah direken sebagai sebuah ketangguhan.

Perempuan yang berjuang di dapur dianggap bukan sebuah ketangguhan.  Perempuan yang bekerja di dapur juga di jalanan juga sering belum dianggap tangguh.  Perempuan yang hampir setiap detik waktunya diberikan sepenuh hati demi keluarga, juga masih belum dianggap sebagai perempuan tangguh.

Perempuan ada yang menjadi pemecah batu.  Perempuan ada yang berjalan ribuan kilo demi keluarga, bahkan dengan telapak kaki yang penuh darah, penmuh nanah.  Siapa peduli mereka?

Lalu, politik pun dianggap sebagai dunia laki-laki.

Politik itu keras.  Politik itu memerlukan seni yang tinggi.  Politik itu kekuatan untuk menyingkirkan bahkan membumihanguskan lawan.  Dalam politik tak pernah ada kawan.  Politik selalu dipenuhi oleh lawan yang selalu siap menikam.  Politik itu kejam.  Oleh karena itu, politik adalah dunia laki-laki.

Perempuan politik?

Sering dianggap sebagai anomali.  Sesuatu yang seharusnya tak terjadi.  Bahkan di Amerika sendiri, yang selalu mengaku sebagai kampiunnya demokrasi, seakan masih menabukan presiden perempuan.  Belum ada dalam sejarah panjang demokrasi Amerika, muncul perempuan sebagai presdien.  Paling banter baru mampu menjadi calon presiden.

Perempuan politik seharusnya mampu membawa sebuah negara menjadi lebih sejahtera.  Kalau perempuan politik hanya terjatuh pada jenis kelamin belaka tanpa dihadirkan bersama sikap, maka yang ada hanyalah kekerasan demi kekerasan politik.  Myanmar dengan perempaun politik peraih nobel pun belum bisa mengubah wajah [politiknya menjadi lebih baik, bakhan masih carut marut kemanusiaan.

Di negeri ini ada Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti sebagai cermin perempuan politik.  Cerdas penuh komitmen pada kesejahteraan.  Tak mau kompromi dengan para bandit.  Dan betul-betul berbeda dengan laki-laki politik.

Sri dan Susi dapat menjadi rujukan perempuan politik terbaik di negeri ini.  Apalagi jika disandingkan dengan ibu bupati atau ibu gubernur yang ditangkap KPK karena korupsi.  Dua kutub yang berlawanan secara ekstrem.  

Perempuan politik adalah Sri dan Susi.  Semoga salah satunya menjadi cawapres 2019.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun