Ia sudah terbaring kaku, waktu aku datang. Â Ia, seperti biasa, tak tersenyum juga tak menangis. Â Ia ada diantara keduanya. Â Selalu begitu. Â Dalam hidupnya memang tak pernah bahagia. Â Juga tak pernah sedih.
"Sudah aku bunuh semua rasa sedih dalam hidupku," kata Ia.
"Aku juga telah membunuh tawa," lanjut Ia.
Ia memang hanya punya aku sebagai teman. Â Dulu, ia memang punya suami. Â Tapi suaminya memutuskan mati lebih dulu. Â Mungkin tak tahan dengan sikap ia yang tak pernah sedih dan juga tak pernah bahagia. Â
Sebelumnya, ia juga punya ayah dan bunda. Â Juga tiga saudara. Â Tapi semuanya seakan sudah sepakat satu suara untuk mati dan meninggalkan ia sendirian di dunia.
Dan ia sekarang terbujur. Â Ia mati.
Aku tak bisa sedih karena ia memang tak mau ada orang sedih karenanya. Â Aku juga tak boleh bahagia karena ia tak suka dengan itu. Â Aku menjadi sepertia ia. Â Hidup di antara sedih dan bahagia.
Seperti kematian ia.