Oleh: M.Iqbal.M
Ketika apa yang ingin aku miliki diambil, tidak selamanya harus aku rebut. Terkadang ada yang harus aku sumbangkan. Atau setidaknya, aku anggap saja aku telah memilikinya melalui orang yang telah mengambilnya.
Bagiku--dan sepengetahuan reflektif dari spasial-temporal ku, sungguh hidup itu bukan soal memenuhi kebutuhan atau keinginan, melainkan soal seberapa mampu mengurangi kebutuhan dan keinginan.
Meski tidak dapat dipungkiri bahwa kehilangan atau kekurangan akan menghasilkan ketidaktentraman, namun aku harus selalu melatih diriku agar dapat membayangkan diriku yang tetap berbahagia walau dalam kehilangan atau kekurangan, tanpa terpaku oleh predikat remeh-temeh yakni antara kesenangan dan penderitaan, ataupun tanpa terpaku oleh kekecutan dekadensi komunal entah itu yang menggunakan instrumen komunitarian antropos maupun komunitarian theos.
Inilah asiknya menjadi pertapa, yang entah akan tiba waktunya untuk meledak atau justru meredup. Tetaplah aku selalu berbahagia!.
Tapi apa yang sesungguhnya yang disebut sebagai pertapa itu ?, sesungguhnya, tidak ada yang perlu tau mengenai maksud dari julukan pertapa. Sebab memang seluk-beluk pertapa itu tidak untuk dipertanyakan, malainkan untuk dicari.
Suatu pencarian yang hanya diri sendirilah yang tau metode dalam mencarinya. Tapi yang pasti ialah semakin sibuk mencari, akan semakin tidak dapat menemukannya. Itulah uniknya bergumul dengan kepertapaan.
Demikianlah aku yang hidup sebagai pertapa dalam dunia fenomena sekaligus noumena. Tidak pernah terlepas dari ontis dan ontologis antara kehilangan, aku, dan kebahagiaan. Sehingga disaat aku telah menyadari adanya dinamika dunia yang penuh dengan selubung kehendak, kedangkalan linguistik-non-holistik, serta pelbagai variabel keremeh-temehan, disaat itu juga, aku berupaya untuk mewaspadai sekaligus menyingkap segala macam variabel agar dapat terbang maupun bergelayutan tanpa terpaku oleh satu peledakan atau peredupan yang tak tertahankan, tapi membahagiakan.
Inilah tiga diksi yang saling terangkai demi menghantarkan ku pada spiritus-filosofis kebahagiaan abadi, yakni; Kehilangan, Aku, dan Kebahagiaan.