Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Aktif sekaligus pasif bermanifesto, bermalas-malasan, dan memecahkan misteri. Selebihnya, pembebas dari sebuah ketiadaan, tanpa awalan dan akhiran. Kontak saya di @mochamad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pertapa yang Menanggalkan Dirinya di Antara Kerumun Abad 21

26 November 2020   10:41 Diperbarui: 26 Juli 2021   12:20 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Itu artinya, yang bisa ia perbuat ialah mengelola keduanya agar tidak terlampaui mencekam, dan bukan secara naif menafikannya. Ia menyadari ambang batas kemampuanya terhadap apa yang sungguh dibutuhkan dengan apa yang tidak perlu dibutuhkan, sehingga tidak lagi berkehendak untuk merengkuh semua isu tentang kemuliaan yang mencuat di permukaan.

Walau demikian, yang namanya pertapa yang berjalan, pasti tidak sekedar berjalan, melainkan tetap berupaya membagi-bagikan cahaya kegelapan dari sebatang korek api yang mulai meredup di sela-sela jarinya. 

Sebuah cahaya kegelapan yang mampu melenyapkan sinar terang milik cahaya yang sekadar bersinar tanpa pernah mengetahui betapa indahnya kegelapan.

Dengan kata lain, ia sama halnya dengan manusia biasa yang senantiasa terjebak pada celah-celah genangan kerumunan yang mencoba bersenang-senang dengan kebutaannya, namun ia tetap mempunyai rasa penjinak kesenangan yang menyalak-nyalak dengan cara tidak sepenuhnya mengingkari perjanjian kepada penutup kelopak matanya yang sebetulnya sama sekali jauh dari kata buta. 

Itu semua dilakukannya demi kediriannya yang telah memutuskan untuk berjalan layaknya seorang penikmat alur perjalanan tanpa berlari dengan menyeruak, pun tanpa berjalan dengan terserak. 

Semacam sedang berlibur di tengah belantara, alih-alih sedang bersusah-payah menghindari ledakan-ledakan yang bisa terjadi kapan saja. Ledakan-ledakan dari luapan lahar belantara yang bisa merenggut nyawa kita semua.

Sesungguhnya, bisa dikatakan bahwa ia tetap memilih kekosongan, namun kekosongan yang berisi, dan bukan berisi tapi kosong. Bagaikan tabib yang memanfaatkan kekosongan tersebut sebagai energi kebertubuhannya agar dapat mengobati organ perutnya yang terlambat makan akibat proses pertapaan yang ia jalani sebelumnya.

Kini ia tidak lagi melewati semuanya dengan sebuah kekuatan derasnya darah penghabisan secara mengebu-gebu, melainkan ia melewati semuanya secara pelan dan lembut, serupa bersantai di atas sampan yang bergerak terayun syahdunya desir ombak yang tidak terlalu menghiraukan penyangkalan terhadap badai yang senantiasa menerjang.

Sementara itu, sebagai seorang yang bersantai, konsekuensinya ialah--mau tidak mau--ia harus terus memperbaharui sebuah prasasti keabadian yang bakal menjadi detak jantung dari sisa hidupnya. Prasasti itu bertuliskan, kita semua adalah ketiadaan yang mengada-ada tiada adanya. 

Maka, yang bisa dilakukan hanyalah memberontak semampunya atas dinamika dunia yang terburu-buru atau tergesa-gesa. Bukan sekadar perlawanan atau perjuangan yang telah berkarat serta tergerus segala macam dogma hitam atau putih yang hanya membuat perut kita terasa terkocok-kocok olehnya.

Sekarang. Apa yang akan anda lakukan ?. Kembali menjalankan rutinitas ?, atau berusaha mengartikan cerita--yang sengaja disusun secara rumit--tentang pertapa ini ?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun