Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berharap "Revolusi Mental" dari Pemerintah Baru

21 Mei 2014   01:35 Diperbarui: 22 September 2015   15:57 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini perlu menjadi perhatian kita semua, sebagai bagian dari masyarakat tersebut. Itu penting untuk dilakukan karena kondisi tersebut menjadi tanggung jawab seluruh anak bangsa.  Bukan saja para pejabat, politikus, aktifis, akademisi, namun semua warga Indonesia harus menjadi bagian dari hal pembangunan masyarakat, terlebih kita secara pribadi.

 

Kita bisa mulai menelisik budaya (sikap) hidup kita setiap hari. Setiap hari setiap rumah tangga memproduksi sampah. Sampah itu terus bertambah dan akan terus menumpuk jika tidak dipecahkan secara baik pula. Situasi itu diperparah oleh rasa tanggung jawab oleh setiap anggota masyarakat yang tidak peduli dengan lingkungannya. Sehingga sering kita menemukan orang-orang yang membuang sampah sembarangan, di got, jalan, pojok-pojok tak bertuan atau pinggir-pinggir jalan.

 

Kondisi ketidakpedulian anggota masyarakat kita terhadap kepentingan bersama, tidak hanya pada urusan sampah. Ke”biadab”an sebagian anggota masyarakat juga pada ketertiban di jalan raya. Para pelanggar itu bukan orang yang tidak berpendidikan. Mereka memiliki pendidikan yang tinggi. Tidak pula mereka orang-orang miskin, namun mereka juga orang-orang kaya yang memiliki kendaraan bermotor, bahkan mereka bermobil.

 

Budaya atau cara berpikir sebagian masyarakat Indonesia cenderung tidak menghargai orang atau lingkungan sekitar. Mereka memiliki arogansi dan egoisme yang tinggi, pengutamaan pada diri sendiri. Gejala itu tidak berbatas pada orang-orang tertentu, namun merata hampir terjadi pada semua karakteristik pendidikan atau pekerjaan. Bukan pula hanya dilakukan orang-orang yang tidak memiliki pengalaman pendidikan yang tinggi, namun juga mereka sebaliknya. Pun juga dilakukan oleh orang-orang yang kaya namun sebagian mereka dilakukan oleh orang yang memiliki keterbatasan secara ekonomi.

 

Coba lihat kondisi sosial di sekitar kita, tetangga kanan kiri kita. Kita mulai dengan cara mereka membuat pagar. Dengan alasan untuk tempat parkir mobil, banyak tetangga kita membuat pagar menjorok ke depan, setengah hingga satu meter. Sehingga pagar tersebut nangkring di atas got yang sejatinya bukan hak kita, atau tanah kita. Maka tidak jarang, jalan-jalan terlihat lebih sempit karena lebarnya dikorupsi oleh mereka yang memajukan pagarnya. Siapa mereka? Orang-orang kaya!

 

Lihat fakta yang lain, tidak sedikit para pedagang-pedagang baik kecil atau besar berbuat curang dan merugikan orang lain. Para pedagang jajanan sekolah menggunakan pewarna baju dan pengawet makanan, para pedagang bakso menggunakan daging celeng, borak dan sejenisnya untuk kepentingan mereka, bukan konsumennya. Tidak sedikit mereka juga membuang sampah seenaknya sendiri di tengah atau di pinggir jalan.

 

Belum lagi para pejabat baik pusat dan daerah yang membangun “komunitas dan kerajaan” yang menguntungkan kawan dan saudaranya. Proses seleksi pegawai negeri sipil yang tidak transparan dan berbiaya tinggi, sehingga kesempatan bagi masyarakat umum tereduksi oleh budaya kotor tersebut. Tidak hanya itu, keatas sedikit, tingkat korupsi para pejabat begitu tinggi. Hampir semua departemen atau instansi pemerintah pemerintah terbudayakan “sudah biasa” pada tindakan-tindakan koruptif.

 

Dengan demikian, sejatinya mental yang perlu untuk direvolusi adalah mental kita semua, warga negara Indonesia, termasuk para pejabat atau calon pejabat. Sebuah pekerjaan yang amat berat untuk dilakukan. Namun bukan tidak mungkin Indonesia dapat kita bangun, jika mental-mental negatif tersebut dapat dirubah. Perubah dari kondisi tersebut adalah pemilik mental itu sendiri dengan cara terus belajar dan pengendalian diri.

 

Namun pemerintah adalah pihak strategis yang memiliki otoritas untuk “revolusi mental” itu dengan menjadi panglima terdepan. Dengan penyediaan dan penegakan semua aturan tanda pandang bulu, pemerintah bisa menggetarkan Indonesia. Pemerintah harus menjadi contoh revolusi mental itu dengan merenovasi mental para pejabat.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun