Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Raja Kecil Jalanan dan Impian Pendidik

15 Maret 2017   22:40 Diperbarui: 15 Maret 2017   22:50 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pagi penulis berangkat ke sebuah desa di daerah Karawang bagian utara dengan menelusuri jalanan yang ramai. Jalan itu ramai dilalui oleh ribuan kendaraan yang berjalan berseberangan dengan saya.  Dalam perjalanan tersebut penulis mengamati kebiasaan para pengendara baik mobil atau motor, baik yang searah maupun yang berlawanan. Bagaimana mereka memanfaatkan haknya di jalan dan memberikan kewajibannya terhadap hak orang lain. Intinya tentang bagaimana mereka berada di jalan raya.

Pelintas yang melewati jalan tentu berbagai jenis pekerjaan atau pendidikan. Mereka bisa jadi dari beberapa daerah yang berbeda, namun yang pasti mereka sama-sama datang dari bagian negeri tercinta, Indonesia. Namun saya yakin, sebagaian besar dari mereka adalah alumni-alumni pendidikan. Mereka pernah mengenyam pendidikan dengan segala variasinya. Bukan itu saja, sebagaian besar dari mereka dapat dipastikan orang-orang yang pintar secara akademik, atau paling tidak berupaya untuk menjadi pintar karena telah atau sedang belajar. Mungkin juga mereka masih dalam proses untuk pintar sehingga saat ini belum menjadi orang pintar, baru calon orang pintar. Makanya mereka tidak mampu mengimplementasikan kepintarannya di dunia riil atau nyata. Dunia dimana ilmunya benar-benar dinanti oleh orang lain.

Pengamatan saya semoga salah dan tidak terjadi di daerah pembaca berada saat ini. Bila pembaca juga mengamati, mungkin (dan penulis yakin) karakter seperti yang penulis lihat beberapa pagi itu mungkin juga dilihat oleh pembaca. Sekali lagi semoga ini keliru, namun untuk saat ini sepertinya sedang jamak terjadi. Atau jangan-jangan malah kita menjadi bagian yang akan kita bicarakan pada tulisan ini.

Kenapa Raja Kecil?

Saya menyebutnya raja kecil, karena memang mereka semua bukan raja, namun gayanya laik seorang raja. Jalanan menjadi punya kita sendiri atau nenek moyang kita. Garis tengah jalan raya sudah menjadi garis kiri kita. Pengguna jalan dari lawan arah harus mengalah, minggir. Motor semi gedenya meraung-raung tanpa kontrol. Setangnya sodok kanan dan sodok kiri. Lampu malam bagian belakang dibuat menyala tajam, sehingga orang belakangnya silau menatapnya. Tidak hanya itu, raja kecil itu juga megarahkan knalpotnya persis di wajah orang belakangnya.

Raja kecil, gayanya persis seperti raja tempo dulu, yang tidak menghargai rakyatnya (orang lain). Mereka cenderung suka memperlakukan dirinya seperti raja-diraja, entah karena ketidaktahuannya atau ketidakmautahuannya tentang orang lain, hak selamatnya, hak hidupnya, hak nyamannya hingga hak menjadi pemilik hak yang sama di atas jalan raya.

Raja kecil yang saya amati dibeberapa kesempatan itu adalah orang-orang yang juga tidak mempedulikan orang lain. Bagaimana tidak, mereka bergaya seperti raja mengendarai motor dan mobilnya di luar haknya yang semestinya. Mereka melaju cepat dengan tanpa melihat dan memberikan hak pengendara dari arah yang berbeda. Mereka menerabas jalan yang bukan jalannya. Terkadang pengendara dari arah lawan hanya diberi hak selebar motornya. Sehingga kadang kita melihat pengendara dari beda arah berusaha keras mengatur langkah kendaraannya karena sempitnya jalan yang dilalui.

Andaikan, diantara kita ada yang menjadi raja sebenarnya pun, tidak akan menjadi raja-lapar yang mabuk kekuasaan dan pujian laiknya raja ala Fir’aun. Seorang raja malah tidak memiliki sikap ke-raja-raja-an, yang konon adigang-adigung dan adiguna. Seorang raja, bahkan seorang Raja Salman, yang saat ini masih menjadi raja pun justru malah memiliki nilai-nilai besar, yang memang tidak dimiliki oleh kita orang awam, sebagai orang biasa yang bukan raja.

Lho, apa mereka, si raja kecil itu orang bodoh. Ooooo…. tidak! Mereka orang pintar, mungkin juga secara akademik mereka memiliki capaian yang bagus. Dari seragam kerja mereka, mereka adalah karyawan perusahaan-perusahaan yang banyak diminati oleh pencari kerja. Artinya perusahaan itu mensyaratkan kriteria yang baik untuk diterima menjadi karyawannya. Juga, walaupun kendaraan bukan menjadi ukuran “kecerdasan” seseorang, kadang kendaraan (jenis, dan merknya) dapat dijadikan symbol seberapa bagus perusahaan itu.

Bahkan sering juga tampak di jajaran raja kecil itu, orang-orang yang menjadi abdi negara. Hal itu dapat kita lihat pakaian yang dikenakannya atau dari kendaraannya yang berplat merah. Mereka juga tidak berbeda dengan raja kecil lainnya dalam mengendarai kendaraannya di jalan raya. Dapat diduga pula, abdi negara itu mungkin pejabat kantor-kantor penting atau bahkan guru itu sendiri. Sehingga boleh juga di”curigai” bahwa guru dan muridnya sama-sama menjadi raja kecil, yaitu orang yang memiliki kekurang kepedulian terhadap wilayah orang lain.

Bila melihat orang-orang yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan lebih baik, namun tidak memiliki kelebihan yang berbanding lurus dengan pendidikannya, kita semua harus berpikir ulang sudahkan pendidikan kita berekses ke orang lain. Atau paling tidak, adakah sisi positif yang kita sebarkan ke lingkungan karena aspek pendidikan kita. Apakah pula kita menyadari bahwa tenyata kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik itu tidak dapat dipisahkan? Karena bila ketiganya dipisahkan capaian pendidikan itu akan pincang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun