Mohon tunggu...
Mo Meimus
Mo Meimus Mohon Tunggu... Freelance engineer, freelance teacher, freelance writer. -

Pseudonym of Utomo Priyambodo. Seorang pemalu, tapi tidak suka memukul dengan palu. Tidak suka dianggap sebagai pengarang, apalagi pembuat arang. Email: mo.meimus@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sedang Berlangsung: Pemutaran Film-film tentang Munir

24 November 2016   23:55 Diperbarui: 25 November 2016   11:41 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Kamu bohong! Kamu yang bunuh suami saya ya?!” Kalimat itu diteriakkan oleh Suciwati, istri almarhum Munir, kepada Muchdi Pr ketika Muchdi beranjak keluar dari ruang persidangan. Adegan yang menegangkan itu ada dalam kehidupan nyata, bukan adegan sinetron, yang kebetulan terekam ke dalam sebuah film dokumenter berjudul "His Story" karya Steve Pillar Setiabudi. "His Story" adalah salah satu film dokumenter yang diputar dalam rangkaian acara bertajuk Menolak Lupa: Pemutaran Film-Film tentang Munir.

Rangkaian acara Pemutaran Film-Film tentang Munir itu tengah berlangsung hari ini, tepatnya sejak 23 November hingga 30 November 2016 nanti. Ada 6 buah film dokumenter yang diputarkan. Selain His Story yang merupakan plesetan dari History (Sejarah), 5 film lainnya adalah Cerita tentang Cak Munir karya Hariwi, Bunga Dibakar karya Ratrikala Bhre Aditya, Garuda’s Deadly Upgrade karya Lexy Junior Rambadeta dan David O’Shea, Kiri Hijau Kanan Merah karya Dandhy Dwi Laksono, dan Tuti Koto: A Brave Woman karya Riri Riza. Kecuali Tuti Koto, semua film dokumenter tersebut bercerita tentang Munir. Pusat cerita film Tuti Koto adalah seputar perjuangan seorang ibu yang meminta keadilan akan putranya yang masih juga hilang hingga kini sejak tahun 1997 dengan dugaan akibat diculik oleh Kopassus. Namun dalam film itu terekam juga sosok Munir sebagai pendamping Tuti Koto dan para keluarga dari korban orang-orang yang hilang tersebut.

Rangkaian pemutaran film-film ini bertempat di Kineforum yang terletak di kompleks Taman Ismail Marzuki, tepatnya di belakang Galeri Cipta 3. TIM (Taman Ismail Marzuki) sendiri beralamat di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Tempat ini memang sering menjadi ajang berkumpul para seniman dan aktivis Indonesia. Saat datang untuk menonton film Munir, di salah satu sudut tempat makan di TIM saya pun sempat bertemu dan mengenali sosok lelaki berkepala plontos, Afrizal Malna, yang tidak lain adalah seorang sastrawan senior di Indonesia.

Koleksi Pribadi
Koleksi Pribadi
Kineforum
Kembali terkait pemutaran film, setiap harinya waktu pemutaran film berlangsung dalam 3 sesi, yakni pukul 14.15, 17.00, dan 19.30 WIB. Rata-rata pemutaran film berlangsung kurang dari satu jam, tapi ada juga yang berdurasi hingga satu setengah jam. Kineforum sendiri yang menjadi tempat pemutaran film-film tersebut adalah bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program film sekaligus diskusi tentang film. 

Film-film yang diputar adalah film-film yang bisa menjadi alternatif tontonan bagi publik. Mulai dari film klasik maupun kontemporer, film panjang maupun pendek, film luar maupun dalam negeri, dan juga film-film dari non arus utama. Ruang ini diadakan sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non komersial di Jakarta dan kebutuhan pengadaan suatu ruang bagi pertukaran antar budaya melalui karya audio-visual. Informasi lebih lanjut tentang Kineforum dapat diakses melalui situs kineforum.org atau twitter @kineforum.

Pemutaran film-film tentang Munir ini bukan ditujukan untuk meraih keuntungan sebagaimana halnya keberadaan Kineforum sebagai ruang bisokop kecil non-profit. Sebagaimana informasi dari Sekar, salah seorang relawan pengelola Kineforum, secara reguler Kineforum akan senantiasa memutarkan film-film pilihannya setiap hari Rabu hingga hari Senin setiap pekannya. Pilihan rangkaian acara kali ini, karena bertema khusus tentang Munir, lebih ditujukan untuk mengingatkan masyarakat akan pentingnya perjuangan HAM (Hak Asasi Manusia) di Indonesia dan sebagai ajakan menolak lupa akan setiap pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ini.

15156766-10154696754943618-7913889845156373228-o-58371b758d7a61b50a29cc59.jpg
15156766-10154696754943618-7913889845156373228-o-58371b758d7a61b50a29cc59.jpg
Omah Munir
Pemutaran film-film tersebut seyogyanya gratis. Akan tetapi, khusus dalam rangkaian pemutaran film-film bertema Munir ini, setiap penonton diharuskan untuk memberi donasi sebesar 15 ribu saja pada hari biasa, atau 20 ribu saja pada hari Sabtu dan Minggu. Seluruh donasi yang terkumpul dari penayangan film-film ini akan diberikan kepada Omah Munir. Omah Munir sendiri adalah museum pertama di Indonesia yang dalam hal koleksi dan tema mengangkat masalah-masalah Hak Asasi Manusia. Omah Munir berlokasi di Jawa Timur, tepatnya di Jalan Bukit Berbunga No.2, RT 4/RW 7, Sidomulyo, Kecamatan Batu.

Omah Munir buka setiap hari Selasa hingga Minggu dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore. Omah Munir sendiri berangkat dari sebuah agenda kerja untuk menjadikan sosok paling berharga dalam sejarah perjuangan penegakan HAM di Indonesia, yaitu Munir Said Thalib (1965-2004), menjadi medium pendidikan HAM di Indonesia. Museum itu menyimpan ragam koleksi pribadi almarhum Munir, kisah-kisah perjuangannya sejak mengawali karir sebagai pengacara di kantor LBH Malang & Surabaya, sampai dengan masa akhir hidupnya di Jakarta dalam beragam aktivitas yang dilakukannya. 

Di luar koleksi pribadi Munir, dan informasi sekitar diri pribadinya, Omah Munir juga menyampaikan beragam informasi terkait dengan sejarah perjuangan HAM di Indonesia selama tiga dekade kekuasaan otoriter rezim Orde Baru dan dua dekade periode reformasi. Museum ini akan menghimpun isu-isu penting seperti kekerasan negara terhadap individu, persoalan impunitas yang masih berlaku dalam budaya politik Indonesia, dan termasuk juga kisah-kisah perjuangan para aktivis HAM seperti pernah dicanangkan tokoh-tokoh terdahulu seperti Yap Thian Hiem, H.J.C. Princen, dan lainnya.

Kilas Balik Kasus Munir
Almarhum Munir adalah pejuang HAM di Indonesia yang mati diracun pada bulan September 12 tahun lalu. Racun yang digunakan adalah racun arsenik. Dalam kasus pembunuhan itu hanya dua orang yang baru dihukum. Keduanya adalah pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto, dan Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan. Padahal dalam fakta-fakta di persidangan terlihat jelas adanya dugaan keterlibatan banyak pihak, termasuk Muchdi Pr yang saat itu menjabat sebagai Deputi V Badan Intelijen Negara Bidang Penggalangan dan Propaganda. Dugaan keterlibatan BIN (Badan Intelijen Negara) dalam pembunuhan Munir belum pernah diusut secara tuntas hingga saat ini.

Dalam pengusutan kasus tersebut, di era SBY sebenarnya pernah dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF), akan tetapi hasil penyelidikan dari TPF tersebut belum pernah dibuka secara publik oleh pemerintahan SBY. Istri almarhum Munir, Suciwati, sebagai orang yang paling merasa kebenaran terkait kematian suaminya selama era SBY belum terungkap menegaskan, "Bagi saya dia (SBY) sudah selesai. Pertanyaannya itu sekarang apa yang akan dilakukan presiden saat ini (Jokowi)."[UP]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun