Mohon tunggu...
Mo Meimus
Mo Meimus Mohon Tunggu... Freelance engineer, freelance teacher, freelance writer. -

Pseudonym of Utomo Priyambodo. Seorang pemalu, tapi tidak suka memukul dengan palu. Tidak suka dianggap sebagai pengarang, apalagi pembuat arang. Email: mo.meimus@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Istilah-Istilah Surga, tapi Sesungguhnya Neraka

31 Oktober 2016   22:03 Diperbarui: 31 Oktober 2016   22:24 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber foto: kompas.com)

Seorang guru menulis sekaligus juga sahabat saya, Mbak Septina Ferniati, penah menasihati saya, “Jangan pernah menilai orang dari pakaiannya.” Maksudnya adalah jangan pernah menilai orang dari luarnya, dari penampilannya, dari atribut atau simbol-simbol yang ia perlihatkan. Dalam hal ini, konteks obrolan kami adalah tentang simbol-simbol agama.

Kita sudah sering menemukan atau menyaksikan di televisi atau bahkan secara langsung orang yang kita anggap alim ternyata zalim, orang yang kita anggap ahli ibadah ternyata bedebah, orang yang tampak bekas hitam di jidat seperti tanda rajin salat ternyata rajin maksiat, dan sebagainya.

Kita masih ingat perkara kasus korupsi yang menjerat para petingi parpol berideologi agama yang dalam rekaman pembicaraan korupsinya memakai istilah-istilah bahasa Arab yang dianggap dekat dengan istilah-istilah agama atau bahkan istilah surga. Dan baru-baru ini kita juga dikejutkan dengan terbongkarnya kasus-kasus busuk terkait padepokan-padepokan agama di tanah air.

Tidak ada yang salah dengan agama. Yang salah adalah perbuatan para oknum tokoh agamanya dan pikiran bodoh kita bila kita justru membenarkannya, membelanya, atau bahkan menjadi pengikutnya. Bukankah teramat bodoh jika orang yang berpendidikan tinggi justru menganggap penggandaan uang bukan sebagai penipuan, melainkan justru sebagai mukjizat atau karamah dari Tuhan?

Kecerdasan memang tidak ditentukan oleh seberapa banyak buku yang kita baca ataupun seberapa tinggi jenjang pendidikan formal kita. Tetapi lebih ditentukan oleh seberapa kritis kita dalam memakai otak dan nalar kita sebagai anugerah yang besar dari Tuhan. Anugerah inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya.  

Kalau kita tidak menggunakan nalar dan otak kita secara rasional maka dengan mudah kita akan menjadi pengikut fanatik dari kelompok atau tokoh agama manapun meski yang ia ajarkan atau perintahkan kepada kita adalah hal-hal salah secara nalar maupun hati nurani. Tinggal memakai istilah-istilah agama mereka mampu menjejalkan kita dengan dogma-dogma ajaran tertentu sehingga amal-amal yang salah kemudian menjadi berubah kita anggap sebagai amal-amal saleh.

Bisa dengan mudah kita akan ikut menganggap korupsi dan gratifikasi sebagai rezeki. Kolusi dan nepotisme sebagai berkah dari silaturahmi. Penipuan sebagai karamah dari Tuhan. Memakai narkotika sebagai proses pengahayatan ke Yang Maha Kuasa. Dan seterusnya dan sebagainya.

Dan yang paling sering kita temukan adalah kekerasan dan pengrusakan, atau bahkan pembunuhan dan pemusnahan, dianggap sebagai perjuangan dan jihad menuju surga Tuhan.

Jadi masihkah Anda tertarik ikut aksi demo anarkis atas nama jihad?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun