Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancasila Rapuh di Tangan Kaum Penghafal

4 Juni 2017   12:21 Diperbarui: 3 Juni 2018   11:03 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pekan Pancasila: istimewa

Kita tidak mungkin hidup berlama – lama dalam kepompong budaya masing – masing dan hampir tidak ada negara yang berdiri dalam satu kelompok etno-kultural belaka. Untuk itu Pancasila hadir sebagai titik temu futuristik yang lahir dari rahim pertiwi. Sayangnya Pancasila telah lama tidak disertakan dalam dialektika kebangsaan, sebatas kemudian menjadi hafalan wajib para milenial.

Pancasila pernah menggema sebagai mantra penataran. Dibahas superfisial di ruang bina ideologi dan mental. Sampai di situ lalu selesai. Pancasila tak terbudayakan dalam moral publik. Sekarang seolah semua berebut sebagai paling Pancasila di tengah kerumunan: 24 dari 100 orang tak hafal sila – sila Pancasila (survei BPS 2015). Jikapun hafal, akan dibawa kemana hafalan itu?

Pancasila menjadi mantra agung para rezim. Pancasila nan sakti sebatas benteng pertahanan. Dan karena berebut Pancasila pula kekuasaan diruntuhkan. Pancasila lahir 1 Juni saat Sukarno berpidato di hadapan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Lalu sejarah menjadi absurd ketika Pancasila disebut – sebut runtuh di bawah kekuasaan penciptanya sendiri. Hari Kesaktian Pancasila kemudian menjadi glorifikasi terhadap rezim Orde Baru atas jasa-jasanya sebagai ‘penyelamat’ Pancasila.

Lalu ketika rezim Orde Baru tumbang, penataran Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dihentikan dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dihapus. Karena Pancasila di tangan rezim Suharto dianggap sebagai alat indoktrinasi mono loyalitas. Dalam hal ini pejuang – pejuang reformasi yang fobia dan trauma seakan membuta. Pancasila terlalaikan dan jauh dari diskursus. Rezim reformasi adalah rezim yang paling rapuh dalam merawat Pancasila.

****

Pancasila dipahami serupa dogma dan seremonia. Pancasila diperkenalkan di atas permukaan. Lalu timbul kebingungan, siapa yang paling Pancasila dan siapa yang paling tidak. Pancasila nan agung ditarik sembarangan ke ruang publik untuk membuat justifikasi. Jangan bicara Pancasila kepada kerumunan penghafal, selami dulu sampai di mana kita sudah Pancasila mulai mitos, logos dan etos.

Mestinya Pancasila lebih dari cukup untuk menjawab pluralitas kebangsaan Indonesia. Jika Pancasila telah disampaikan kepada publik dalam metodologi yang tepat, maka keragaman tidak selalu berakhir dengan tikai. Sejauh ini masyarakat hanya dibiarkan menjadi penghafal Pancasila atau menerjemahkannya sendiri – sendiri. Sifat menghafal adalah kekonyolan. Seperti disebut Tan Malaka dalam Madilog: Bahwa kebiasaan menghafal itu tidak menambah kecerdasan, malah menjadikan dirinya bodoh, mekanis, seperti mesin.

Fakta Pancasila adalah galian dari jati diri bangsa dalam keragaman yang besar. Sukarno menyebut, jika lima sila dalam Pancasila diperas maka tinggal satu frasa yakni gotong royong. Gotong royong berwatak kekeluargaan ini adalah jati diri sebenar Indonesia untuk membuat pembedaan tegas atas konsepsi perseorangan dalam liberalisme-kapitalisme dan konsepsi kelas atau golongan dalam komunisme.

Sudahkah penyelenggara negara menerapkan kelima prinsip dasar Pancasila itu? Di tengah gemulainya pertahanan kita pada kapitalisme predatoris, tabiat otokrasi-koruptif dan keberpihakan kepada pasar-individualis yang kesemuanya mengoyak peri kemanusiaan yang adil dan beradab serta peri keadilan sosial. Sudahkah politik anggaran dilaksanakan dengan adil untuk rakyat, di tengah sangat dipentingkannya urusan ritual, fasilitas dan kemewahan penyelenggara negara ketimbang mengoptimalkan biaya publik.

Dalam hikmat kebijaksanaan sudahkah suara – suara rakyat dihormati dan tidak dicederai. Lalu kemudian sudahkah penyelenggara negara berlaku adil atas dua rongrongan Pancasila? Jika cenderung melihat bahaya besar hanya datang dari chauvanis atau radikalisme keagamaan tetapi membuta pada radikalisme sekularis. Radikalisme sekularis terlihat pelan tapi sama bahayanya.

Pancasila bukan sebatas common sense sebagai Dasar Negara, tapi adalah solusi untuk menegah ancaman globalisasi yang telah membelah umat manusia menjadi dua golongan, yang menang dan yang tertindas. Jika faktanya rakyat masih hidup dalam hegemoni, baik secara dalam negara maupun internasional, mari berhitung sejauh mana Pancasila sudah dihadirkan oleh rezim ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun