Adakalanya untuk maksud glorifikasi humanisme, kita perlu men-down grade ChatGPT secara sepihak menjadi semacam ini: Apa yang membuat kita terkejut? ChatGPT (Generative Pre-trained Transformer) bukan laksana Dewa Ganesha yang serba tahu atau Hermes sang penafsir makna, ChatGPT (hanyalah) sepotong kecerdasan untuk mencocokkan pola. Apakah output-nya "benar " bukanlah intinya. Selama output tersebut cocok dengan polanya, ChatGPT akan terlihat sebagai sangat cerdas. AI bisa saja hanya burung beo yang menonton opera sabun selama jutaan tahun.
Kata "bukan" dan "hanyalah" yang berlindung di dalam tanda kurung itu menjadi temporal dan bias manakala pada akhirnya, dalam hitungan bulan ChatGPT benar-benar menjadi personifikasi dari Dewa Ganesha yang tahu segala atau Hermes yang mampu mengerkah makna-makna tersembunyi. Dia menjadi sangat pintar bak dewa Olympus yang duduk bersila di atas awan (cloud), apalagi ketika Anda bersedia membayarnya USD 20 per bulan untuk versi premium.
ChatGPT besutan vendor OpenAI bukan pula dewa bahasa tunggal kendati sangat fenomenal secara global, di belakangnya ada Google BERT, Microsoft Turing, Facebook RoBERTa, Amazon SageMaker, dan sejibun aplikasi dari antah berantah bisa diunduh dari Playstore, yang menyamar sebagai ChatGPT.
Fenomena ChatGPT yang go viral itu direspon positif oleh Universitas Riau (UNRI) dengan menggelar diskusi panel terbatas melalui tema penyelenggaraan akademik berbasis transformasi digital: teknologi artificial intelligence (AI) antara peluang dan tantangan. Diskusi yang berlangsung pada Senin (6/03/2023) di Ballroom utama UNRI ini menghadirkan sejumlah pembicara berkompeten, dengan tema sentral tren global ChatGPT berbasis AI.
Diskusi ini digesa menyusul tekad Rektor Universitas Riau Prof. Dr. Sri Indarti, SE, M.Si yang telah mencanangkan kebijakan penyelenggaraan perguruan tinggi berbasis transformasi digital menuju world class university. Pelaksanaan Kebijakan tersebut sudah harus berlaku efektif pada tahun anggaran 2024 di lingkungan UNRI. Hal itu juga telah dipertegas dalam poin kedua dari Rencana Stratagis Universitas Riau, yakni Transformasi Sistem Pendidikan dan Pembelajaran Berwawasan Kebangsaan Berbasis Teknologi Informasi Global.
Saya berbicara di antara para akademisi hebat dan punya minda ultramodern yakni Dr. Mexsasai Indra, S.H.,M.H. (Wakil Rektor I Bidang Akademik UNRI), Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi (Akdemisi FISIPOL UNRI), dan Iswadi HR, ST, MT, Ph.D (Kepala UPT TIK UNRI). Acara ini dipandu oleh moderator Saiman Pakpahan, S.Sos., M.Si, yang baru saja didaulat sebagai Wakil Dekan FISIPOL UNRI.
Dr. Mexsasai Indra berbicara tentang kebijakan penyelenggaraan akademik berbasis transformasi digital menuju world class university di lingkungan UNRI. Ia menjelaskan alasan penting penggunaan AI yaitu mampu menganalisis data lebih banyak dan lebih dalam, mencapai tingkat keakuratan yang tinggi, bisa mengoptimalkan semua data yang dimiliki, dan bisa belajar sendiri. Serta uraian bagaimana AI berdampak secara positif sekaligus negatif.
Mexsasai juga mengurai langkah-langkah kebijakan dalam menghadapi AI, termasuk pelatihan bagi user, serta pemantauan. Di ujung penyampaiannya, Mexsasai melempar pertanyaan besar, apakah AI tunduk pada kaedah-kaedah kebenaran ilmiah?
Sementara Prof. Yusmar membahas tema refleksi keilmuan terhadap penggunaan AI dalam pengembangaan kebijakan akedemik di perguruan tinggi, dengan pendekatan idealisasi pedagogi dan filsafat.
Diterangkan Yusmar, modernitas menyuguh godaan agung versus ancaman kolosal. Kultur modernitas, paling kuat dan terpuncak dari semua kultur yang pernah ada, juga paradoks dengan hadirnya kecemasan eksistensial yang mengepung: riset tiada henti, penciptaan, penemuan, lalu pertumbuhan versus kemusnahan masif.