Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ra(ksa)sa Sakit

30 Juni 2021   11:04 Diperbarui: 12 Agustus 2021   17:21 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: amazonaws.com

Sebuah kekeliruan besar atas Ludwig van Beethoven sengaja disebar oleh semacam gerakan pro-kehidupan. Ini menjadi hoax terliar abad 19, bahkan masih sampai sekarang.

Bunyinya seperti ini: - 'Mengenai terminasi kehamilan, aku minta pendapatmu. Ayahnya sakit sifilis, ibunya tuberkulosis. Dari empat anak yang lahir, yang pertama buta, yang kedua  meninggal, yang ketiga tuli dan bisu, yang keempat juga sakit tuberkulosis. Apa yang akan kau lakukan?  + 'Aku akan mengakhiri kehamilannya.' - 'Berarti kau akan membunuh Beethoven.

Komponis Jerman yang secara ajaib mekar di Wina di antara sekuntum Mozart, Haydn, Schubert, Vivaldi ini  memang berantakan, tapi tak seberantak itu. Setidaknya meski ayahnya seorang pemabuk keterlaluan tapi  bukan pengidap sifilis dan dia bukan anak ke-5.

Beethoven adalah metafora: seseorang dapat bertahan menjadi hebat dalam batas terakhir derita yang dapat ia tanggung.

Dalam ruangan sepi perabotan, sebuah piano kecil seukuran anak -anak telah dijadikan oleh Beethoven untuk menulis opera pertama dan satu - satunya, Fidelio, serta komposisi pendek yang manis berjudul Fr Elise.

Dia tahu dia akan tuli dan menderita karena kehilangan satu indera terpenting dalam dunianya. Namun ketulian itu tak mengganggu produktifitas kreatif Sang Maestro.

Dalam film dokumenter BBC World Service "Dissecting Beethoven", ahli bedah saraf Inggris Henry Marsh menyusun daftar rinci penyakit Beethoven, dengan pendekatan seolah-olah ia akan dirawat pada zaman sekarang.

Dokter itu menyebut, sang komposer menderita penyakit radang usus, sindrom iritasi usus besar, diare hebat, penyakit Whipple, depresi kronis, keracunan merkuri, dan hipokondriasis.

Banyak orang hebat yang menderita penyakit dan kecacatan. Edison setengah tuli, Aldous Huxley setengah buta, Alexander Graham Bell dan Picaso disleksia. Michaelangelo, Titian, Goya, dan Monet semuanya menyandang penyakit yang justru jadi pelecut yang menghebatkan karya mereka.

Michaelangelo misalnya, terlalu kesakitan saat melukis Chapel Sistine, yang kemudian melahirkan sosok-sosok yang terpelintir. Itu bahkan menjadi aliran mannerism, aliran seni hebat berikutnya.

Yang satu ini pula. Dia adalah bagian dari enam generasi yang mewarisi pelbagai penyakit degeneratif parah. Sejak lahir pemuda ini sudah menderita asma bronkial yang disebabkan pembengkakan selaput lendir dengan sekresi yang akut. Ia juga rabun dan tulang-tulangnya begitu rapuh.

Perkembangan fisiknya terganggu. Tubuhnya kecil, pucat dan kerempeng. Penderitaannya dilengkapi dengan kaki kurus, mata biru lebam dan rambut berpasir.

Giginya menonjol, ortodontik dan akan disembunyikan dengan kumis walrus di kemudian hari agar ia bisa nyaman mendekati wanita muda.

Andai tidak ada raksasa yang mengamuk di dalam tubuhnya, maka ia hanyalah pria ceking tukang batuk di atas kursi roda dengan kacamata bulat setebal alas botol, di mana orang-orang akan memaklumkan kondisi itu.

Tapi ia kemudian dikenang sebagai inspirator Teddy Bear, ia juga merangkap sebagai Presiden Amerika Serikat terbaik sepanjang masa dan menjabat dua kali. Dia adalah Theodore Roosevelt yang berbadan tegap dan atlet pilih tanding.

Sambil menanggung rasa sakit parah dan setengah buta, Nietzsche menulis maha karyanya dalam bentuk narasi-alkitabiah, Thus Spoke Zarathustra dan buku-buku lain yang memengaruhi generasi filsuf, novelis, dan psikolog.

Nietzsche sangat logis untuk tergeletak begitu saja di atas ranjang kematiannya dan berakhir sebagai orang biasa.

Tapi, Nietzsche seperti orang sekampungnya Beethoven, akan bertahan tetap hebat dalam batas terakhir derita yang dapat ia tanggung. Ia kemudian dicatat sebagai cendekiawan klasik, penyair, dan filsuf, dan salah satu pemikir modern paling berpengaruh.

Bagaimana dengan kita, apakah kita punya raksasa yang bisa diaktifkan, ketika penyakit itu datang. Bahkan kita tidak punya raksasa itu. Kita membunuhnya sejak menaruh mimpi kita hanya setinggi atap rumah. Kita segar bugar, tapi bukan siapa-siapa. Jangan, setidaknya jadilah setengah Beethoven. Seperempatnya?! ~mnt

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun