Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Dialektika Islam-Komunis

8 Mei 2021   12:40 Diperbarui: 22 Mei 2021   11:42 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: i.guim.co.uk

Polarisasi dalam tubuh keindonesiaan kita tengah menguat. Ada dua kutub yang saling menolak: Islamisme di satu sisi dan komunisme di sisi lain. Sebagai sebuah ideologi, komunisme belum tamat, ia tetap hidup sebagai laten. Jalan pedang? Tunggu dulu, masih ada jalan dialektika.

Islam dan komunis seperti musuh abadi, keduanya menyimpan dendam historis. Mengapa Islam? karena di Indonesia mayoritas Muslim. Akan beda di Soviet yang mayoritas Kristen dan Tiongkok yang dulu mayoritas Konfusius dan Budhis.

Ketika Belanda masih ada, Islam dan Komunis bahkan punya musuh yang sama: kolonialisme. Keduanya berjihad untuk mengusir penjajah. Bahkan pemikir-pemikir Indonesia, para murid Barat seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan Semaun harus beraliran kiri agar sehaluan dengan tren global anti kolonialis, yang dipicu oleh keberhasilan Revolusi Oktober 1917 di Rusia.

Tapi intelektual kita tidak menyerap seluruhnya Leninisme Soviet, mereka harus mengelaborasinya dengan kondisi Indonesia. Seperti juga yang dilakukan DR Sun Yat-sen di Tiongkok.

Hatta, Tan Malaka, dan Semaun, misalnya, harus menghadapi risiko pemecatan oleh Josef Stalin dari keanggotaan Komintern dengan tuduhan sebagai Marxist aliran revisionist, sebab mereka hendak menerapkan Marxisme tapi dengan nuansa khas Indonesia. Kepada Hatta, Tan Malaka bahkan pernah berkata, 'punggung saya belum bisa bungkuk.'

Komunisme berasal dari manifesto Karl Marx plus Friedrich Engels, nabi para kaum Marxis. Ada misi suci untuk keadilan, kesetaraan dan penghapusan kelas. Serta mengangkat kaum proletar, yang sudah terhegemoni sangat kuat oleh kapitalisme borjuis.

Lalu mengapa Islam dan Komunis (baca: PKI) di Indonesia dalam posisi saling meniadakan? Sebab komunis selalu mengibarkan bendera revolusi, ingin melakukan lompatan besar dengan gegas.

Lalu membenarkan cara apa saja, the end justifies the means (tujuan membenarkan caranya). Dalam pemberontakan berdarah, sebagian besar korbannya adalah pemuka agama (Islam). Patut dicatat, korban komunis di Soviet, China, Albania, dan Kamboja bukan ulama.

Selama periode Stalinis, seperti ditulis dalam The Church in the Soviet Union 1917 - 1941 _Russian Review,  pada 1930, komunis Soviet menghancurkan gedung-gedung gereja atau mengganti fungsi bangunan dalam penggunaan sekuler, seperti museum, bar atau fasilitas penyimpanan. Pendeta dieksekusi, melarang penerbitan materi keagamaan dan  beberapa anggota kelompok agama dianiaya.

Islam dan Komunis di Indonesia sama-sama memperkuat stigma dan membunuh karakter. Islam dituduh sebagai penyimpan ideologi terorisme, dan komunis dicap sebagai penjahat sejarah dan anti Tuhan. Selebihnya adalah politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun