Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Negara dan Etika Palsu

3 Mei 2021   22:50 Diperbarui: 3 Mei 2021   23:46 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: soyrauldelacruz.com

Pertama sekali setiap bangsa wajib bangga karena tercatat dalam statistik negara. Negara adalah kata benda abstrak. Ia tinggal di dalam imajinasi kita. Ia dibentuk dari fantasi dan angan-angan, sebuah rumah raksasa yang dihuni bersama.

Negara dibangun dari tonggak-tonggak kecemasan dan pidato-pidato. Banyak negara dikandung di dalam rahim perang dan penjajahan, lalu lahir saat perang usai. Setiap negara lahir, ibunya mati. Negara diasuh oleh bapaknya, negara dibesarkan dengan maskulinitas, dengan kejantanan spartan untuk mengokang senjata sewaktu-waktu.

Setelah negara terbentuk, kecemasan terus berlanjut. Terlalu besar yang harus dibayar warga bumi untuk sebuah kecurigaan. Maka setiap negara memperkuat tentara dan alat perangnya, tak terhitung berapa yang sudah dihabiskan. Homo homini lupus est,_ manusia adalah serigala bagi sesamanya_ sebuah sabda Plautus yang abadi. Jika direnung-renung, kita mestinya malu jadi manusia.

Antara kita dengan bangsa lain, ada sekat imajiner yang kita susun dari benang-benang mitos, geneologi atau tragedi yang sama dan serentak. Kita melafal diksi-diksi seperti nasionalisme, patriotisme, jiwa korsa (esprit de corps) dan seterusnya. Sebagai rangkaian dari kecemasan. Karena kita tidak percaya dengan sebuah pembalik: Homo Homini Socius, yang berarti manusia adalah teman bagi sesamanya. 

Plautus hidup tahun 195 SM, pada zaman itu serigala dalam ujud manusia menemukan ladang pembantaiannya. Sedangkan Homo Homini Socius dibahanakan oleh Thomas Hobbes, seorang filosof Inggris abad Victoria.

Dengan akal budi yang makin tercerahkan, mestinya kita lebih memihak Hobbes. Atau kita terlalu mengenang  Napoleon Bonaparte, seorang ambisius pemimpin militer dan politik Prancis, yang memperkenalkan  esprit de corps, sebagai strategi perang. Strategi membantai manusia.

Maka dapat saja dipastikan, negara yang paling lengkap dan paling mahal senjata militernya adalah negara yang paling cemas, sekaligus paling punya ambisi. Bahkan saking takutnya, negara-negara maju membangun mitos licik terhadap penempatan senjata nuklir, mereka merasa lebih dewasa, sehingga lebih berhak menyimpan senjata itu. Lebih dewasa sekaligus lebih takut. Membuat Kim Jong-un tidak lebih gila dari sekarang, menjadi tugas tambahan yang perlu dijalankan.

Untuk domain antara bangsa, kita sebenarnya sedang dan telah sangat lama membangun etika palsu, untuk menghadapi para neo-serigala. Nasionalisme, patriotisme, esprit de corps, mau tidak mau menjadi sebuah landasan moral dan kode etik. Ketika ancaman (secara militer) bukan fakta maka kecurigaan adalah landasannya.

Banyak negara yang melakukan gertak sambal (bluff) dengan demonstransi senjata perangnya, padahal sebenarnya mereka sangat takut berperang. Perang Dunia I dan II yang super traumatik sudah mengajarkan, tidak ada yang selamat ketika perang usai. Jika tidak hancur, maka bangkrut. Kita tidak cukup bodoh untuk mengulang tragedi seneraka ini.

Ketakutan dengan kecemasan tiap-tiap negara akan daulat teritorialnya, lebih selalu menguntungkan kapitalisme senjata ketimbang alat-alat itu digunakan sebagai tujuan awalnya. Peperangan bahkan hanya dipicu oleh nafsu haloba penguasa negara, bukan kehendak nurani rakyat. Tapi rakyatlah yang jadi umpan peluru. Penguasa lebih pandai bersembunyi, ketimbang turun di medan laga.

Politik perang sebagai sifat dasarnya tidak akan mengenal kode etik. Winston Churchill dan Franklin Roosevelt tidak menyukai Stalin dan komunisme. Tetapi saat berjuang melawan Hitler mereka mengakali untuk harus bekerja dengan Uni Soviet, tak lain adalah guru besar komunisme global.

Bagaimana di dalam negara sendiri, sebagai sesama anak bangsa. Homo Homini Socius, manusia adalah teman sesamanya dicoret bila masuk ke dalam domain politik kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan yang bebas kode etik, demokrasi dipalsukan. Berada di luar lingkaran kekuasaan tidak pernah enak, maka para oligark terus mencari cara agar kekuasaan bisa abadi, dan yang lain merasa perlu merampasnya.

Demokrasi mengajarkan bahwa pemimpin itu adalah petugas rakyat, tapi penguasa kadang membungkus dirinya ke dalam mitos-mitos negara, agar ia sekuat raja monarki. Rakyat feodal akan sulit membedakan mana negara yang harus dipatuhi dan mana politisi yang sedang berada di dalam negara. Sehingga membela politisi yang berada di elite kekuasaan disamakan dengan membela negara. Pun sebaliknya. ~ MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun