Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamatkan Demokrasi Indonesia dengan Magna Carta

17 April 2021   16:26 Diperbarui: 18 April 2021   05:34 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Birthplace of Modern Democracy: chef.bbci.co.uk

Demokrasi punya sepupu jauh bernama kapitalisme. Di Amerika sendiri kapitalisme bukanlah kerabat yang baik. Ia berusaha mendorong proses demokrasi diruda-paksa oleh kekuatan modal. Ini pula yang terjadi di Indonesia sebagai anak bawang. Bila Amerika terus mempertahankan model ini, maka ia akan terus digilas oleh Tiongkok _yang di sisi lain dipimpin diktator Xi Jinping_ namun tertutupi oleh model meritokrasi: mengutamakan kepakaran melebihi apapun.

Lalu apa solusinya untuk Indonesia? Pembatasan jabatan presiden jadi satu periode perlu dipertimbangkan, agar ia segera terbebas dari hegemoni politik dari semua arah. Selain itu adalah menggagas Magna Carta jilid dua. Magna Carta jilid pertama yang terjadi di Inggris pada 1215 telah melucuti sebagian kekuasaan absolut King John, maka untuk Indonesia kita perlu membatasi kewenangan presiden, menjadi setara Ratu Inggris Elizabeth II atau Presiden Singapura Halimah Yacob.

(Singapura tidaklah benar-benar sempurna, akhirnya tergelincir pada godaan politik dinasti. Goh Chok Tong mewariskan takhta perdana menteri kepada sang putra mahkota, Lee Hsien Loong. Sepanjang mereka dapat membuktikan kepakarannya, kesempurnaan itu dapat ditunda. Di Indonesia dinasti politik tidak pernah didukung oleh fakta empiris macam ini, sehingga tidak relevan).

Dengan ruang gerak yang dipersempit seperti Inggris dan Singapura, kepala negara hanya mengurusi hal-hal yang bersifat seremonial dan formalitas saja, meskipun diberikan sedikit hak veto terkait penyelidikan korupsi dan seremonial pelantikan kabinet atas rumusan dewan pakar independen, bukan partai politik.

Selanjutnya kabinet dikelola secara scientific. Negara kemudian dapat berjalan dengan profesional dan terbebas dari gangguan politik. Di tahap awal barangkali akan terjadi perdebatan soal presidensial dan parlementer. Tapi itu hanya proses, bukan tujuan.

Monarki dan demokrasi hanyalah plasma, tapi inti dari plasma itu adalah negara ilmiah. Demokrasi elektoral pada tahap ini gunanya hanya untuk pemuasan romantisme antara mental feodal dengan jelata yang butuh pujaan, kelindan abadi antara patron dan klien, kohesi tradisional antara superior dan inferior, yang dikemas dalam paket terbatas.

Biarkan masyarakat yang butuh kultus individu mengusulkan pujaannya, karena jika pun salah pilih dan absurd, negara tetap berjalan secara prosedur ilmiah dan terukur. Presiden tidak lagi ikut berpikir, untuk hal-hal yang di luar kemampuan otaknya. Sehingga dengan demikian tak layak dipersalahkan.

Pada akhirnya tindak tanduk presiden tak lagi paling dipercakapkan di media sosial. Tidak ada lagi orang yang akan menyanjung atau menghujat presiden dalam setiap fenomena istana. Media sosial tak lagi menjadi mahkamah bagi setiap inci kelakuan presiden. Dan pertengkaran - pertengkaran politik menggelikan antar elit dan sesama jelata, akan lenyap dengan sendirinya. Kita pun kembali dapat menghirup udara segar kesantunan sesama anak bangsa. ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun