Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terjebak di Dunia Viral

31 Oktober 2020   08:26 Diperbarui: 8 November 2020   12:23 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pxhere.com

Kita mengalir seperti sungai. Bayi, belia, tua bangka, dan punya batu nisan. Mengisap puting, bermain tali, memikat pasangan, bersendawa, berdosa dan berupaya menyogok Tuhan dengan ritual: sebatas takut jilatan api dengan bonus bidadari. 

Tidak ada yang kembali ke jam tujuh tadi pagi, semua kita menuju matahari yang pergi. Artinya kita mengalir seperti selokan. Kita berharap selokan itu buntu sehingga ada penundaan. Tetapi tidak, air terus mengalir dan kita menua. Di sepanjang garis waktu kita, ada kedatangan kekal yang berulang: duka, gembira, hari raya, dan pemilu.

Ibarat hamster yang berputar di roda dan hanyut bersama sungai. Begitulah kita, sampai kita bertanya. Tapi kita tidak bertanya. Kita melakukan. Melakukan pengulangan itu. Sibuk dalam kotak sendiri. Berpeluh di dalam lingkaran masing-masing. Kita tak peduli soal lingkaran lain, walaupun mereka bekerja bersama iblis.

Para nenek sihir tenggelam dalam pembicaraan sapu terbang dan kutukan. Para penebang kayu akan bercakap soal pohon gemuk dan pengasah kapak. Mereka tidak berupaya menggugat modernitas, atau membongkar teori-teori cacat. Lalu di mana kita? Apakah kita sebatas binatang ekonomi yang berburu di rimba hedonisme dan sesi foto di akhir pekan untuk menagih suka di ladang Mark Zuckerberg.

Memangnya kita sempat melacak ke mana perginya pajak yang kita bayar. Seorang pengisap rokok, lebih peduli kepada kenikmatan absurd yang mereka dapat ketimbang berhitung berapa yang sudah mereka bayar untuk Philip Morris dan kawan-kawan, serta berapa cukai tembakau yang sudah masuk ke kas Negara.

Perokok berat sebagai misal saja, adalah pemegang saham terbesar di republik ini, karena mereka adalah pembayar pajak terbesar pula. Mereka paling berhak untuk mengatur jalannya Negara, mengatur orang-orang yang telah mereka bayar untuk mengurus negeri ini, sekaligus mengurung semua koruptor yang telah mencuri uang itu dan semua uang dari laci negara.

Jangan dikira konglomerat lah sebagai pembayar pajak terbesar, justru mereka telah membebankannya kepada karyawan dan konsumen akhir yakni kita. Atau semisal pengeruk harta karun milik rakyat dari perut Indonesia dengan bagi hasil termurah, apa yang kemudian membuat mereka berbeda dari Belanda dulu kala. Kita yang asyik memotret makanan, selalu taat membayar pajak restoran dengan tawa ringan seorang pengecut.

Apakah kita tak ingin bertanya untuk apa pemilu. Untuk apa ritual lima tahunan dalam demokrasi. Apakah itu pesta demokrasi atau kenduri bagi oligarki.

Demokrasi adalah misi suci yang diapit kapitalisme. There ain't no such thing as a free lunch. Jika mau jadi kandidat, akan ada ongkos sekian miliar untuk tiap kenderaan partai yang Anda naiki. Levelnya berjenjang mulai tingkat bupati hingga kandidat presiden. Ingin keluar dari kutukan ini, jadilah ketua atau bikin partai sendiri, atau lagi semacam basa basi yang disebut  jalur independen.

Anda boleh sebaik nabi dan secemerlang Isaac Newton, tapi jika berkantong kempis dan tak pernah viral, tetaplah di tempat sampai ada keajaiban bak Alice in Wonderland.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun