Sekejap lagi kita sudah berada di ambang 2020. Kita akan mengevaluasi resolusi 2019 dan menyusun resolusi baru. Gol kita yang paling hakiki adalah satu kata: bahagia. Sudahkah bahagia? Jika belum berarti kita menyimpan virus. Tulisan ini akan lebih banyak menjadi otokritik bagi saya pribadi.
Beberapa mungkin sudah mencapai resolusinya. Tapi apakah mereka bahagia? Apakah Indonesia negeri bahagia atau hamparan pulau derita. Atau adakah yang bahagia di atas penderitaan. Apakah kita sedang mengutuki kegelapan ketimbang menyalakan lilin?
Islandia negeri dekat kutub utara yang selalu gelap dan beku. Tapi mereka bahagia, meski tidak dicatat secara resmi seperti Finlandia, Denmark atau Norwegia. Para keturunan pelaut Viking yang lagendaris ini tidak mengutuki sinar matahari yang tidak ada, seperti kita menggerutu kepada perusahaan listrik (semacam alat penerang milik negara yang selalu terhubung ke selang infus).
Tapi Moldova yang terang benderang terimpit dalam nestapa dan mengutuki sejarah. Negeri pecahan Uni Soviet ini bangkrut sejadi-jadinya. Mereka marah kepada Mikhail Gorbachev yang dituduh mempercepat Soviet bubar. Moldova punya bahasa sendiri, lalu seseorang akan berkata kepada mereka, "gunakan saja bahasa manusia"__yang dimaksud adalah bahasa Rumania atau Rusia.
Apa kabar Indonesia? Manusia di Indonesia ternyata tak bahagia kecuali sedikit. Ada penurunan drastis dari tahun 2015 hingga 2019 dalam  World Happiness Report yang diterbitkan oleh United Nation Sustainable Development Solutions Network (UN SDSN).
Dari laporan tersebut pada tahun 2015, Indonesia masuk dalam peringkat 74. Namun pada tahun 2016 peringkat Indonesia menurun menjadi 79. Hingga pada 2018, Indonesia semakin jauh dari bahagia dengan peringkat 96.
Sementara untuk 2019, dari 156 daftar negara yang dirilis dalam laporan tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-92 dengan perolehan poin sebanyak 5.192. Â Apa sebab hanya sedikit manusia yang bahagia di negeri ini? "Karena korupsi dan bantuan sosial yang kurang," kata President United in Diversity, Marie Elka Pangestu.
Di sini saya mulai pesimis. Bangsa Indonesia tidak akan bahagia hingga kapanpun. Karena korupsi adalah sesuatu yang selalu melekat di tubuh birokrasi, dan ada yang mencatatnya sebagai bagian dari budaya untuk seolah-olah menawarkan jalan damai. Korupsi bisa ditukangi dengan sangat lihai, sehingga tidak terlihat seperti korupsi. Sedangkan bantuan sosial menjadi kebalikannya, subsidi dicabut dan rakyat terlihat seperti sedang menyubsidi negara dengan lonjakan pungutan.
Secara keseluruhan, ada enam variabel yang digunakan untuk mengukur World Happines Report tersebut yakni, PDB (Product Domestic Bruto) per kapita, angka harapan hidup, bantuan sosial, kebebasan sosial, persepsi korupsi dan kemurahan hati. Ukuran ini mungkin tidak adil untuk menyelami lubuk terdalam hati manusia, tapi mungkin paling logis.
Di luar itu, yang perlu dicatat, kita adalah produk penderitaan warisan kolonial dan tekanan rezim. Kita juga adalah pembaca sejarah: sejarah tentang penderitaan. Belahan dunia lain juga mengalami trauma berat oleh diktator tangan besi, kolonialisme, perbudakan, dan perang. Dihantui Hittler, Nero, Mussolini dan semua tiran dalam sejarah. Hal-hal itu diturunkan secara genetik, menjadi trauma bawah sadar.