Â
Dialektika dalam bernegara tidak pernah selesai. Negara harus menyodorkan cara berpikir dialektis soal kebangsaan. Negara tidak bisa monolog dan memborong semua peran protagonis. Karena kadang-kadang negara memainkan sebuah tesa yang antagonis.
Negara tetaplah sebuah tesa, sesengit apapun frasa parsial yang ingin dibangun oleh politisi di dalamnya. Tesa kata Hegel adalah sebentuk fenomena, problematika, kekusutan bahkan kontraproduktif bagi gapaian utopia. Tanpa cita-cita untuk sampai ke utopia, negara hanyalah ritual kecemasan.
Maka negara membutuhkan antitesa agar ia tetap berada di laluan yang tepat: sebuah ritual birokratis yang bergerak mendekat ke arah kemakmuran semua, bukan sepilah-sepilah, bukan hanya untuk orang dalam dan membiarkan rakyat di luar sana terus terimpit dan terhegemoni.
Antitesa yang bergema di ruang publik harus dianalisis dalam logika formal. Hal ini hanya bisa terlaksana dengan gerakan pikiran, bukan berpusat kepada kelumpuhan akal para oligarki.Â
Tersebutlah di sebuah negeri, ketika orang-orang bijak bestari yang lolos dalam seleksi oligarki, tiba-tiba melupakan kenangan kecerdasan mereka.
Kawanan oligarki yang bercokol dalam negara dan semua elemen luaran yang menopangnya, tidak bisa mengambil penuh dan menerjemahkan seluruh Pancasila sebagai falsafah negara untuk diperalat menjadi perisai politik kekuasaan. Mereka harus membiarkan publik tanpa kecuali menyodorkan terjemahan mereka.
Negara demokrasi tidak berhak mengusir semua antitesa, kecuali mereka mampu membuktikan sebaliknya. Tugas negara bukan menutup semua celah kritik, tapi membuat tidak ada ruang tersisa untuk dikritik.Â
Sepanjang masih ada kritik, mari kita bicara. Tesa dan antitesa harus berunding sehingga lahir sintesa. Sintesa itu berupa konsensus nasional untuk memenangkan rakyat.
Negara harus memperkuat Pancasila dengan menolak semua proposal ideologi lainnya, katakanlah liberalisme, sosialisme, komunisme, dan khilafah. Ideologi-ideologi ini akan bungkam dengan sendirinya bila negara sudah mampu membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi bernegara yang terbaik.
Negara tidak perlu melabel gerakan-gerakan berpikir tertentu sebagai radikal, barangkali mereka hanya menawarkan alternatif karena melihat gejala Pancasila yang selama ini dijalankan telah terkontaminasi ideologi-ideologi penyelinap dan tidak mampu membawa bangsa ini kemana-mana selain sebagai penghapal sila satu sampai lima.