Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menutup Ruang Debat Pancasila

23 November 2019   15:13 Diperbarui: 28 November 2019   21:04 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Pancasila Sakti (F: duta.co)

                                                                                     

Dialektika dalam bernegara tidak pernah selesai. Negara harus menyodorkan cara berpikir dialektis soal kebangsaan. Negara tidak bisa monolog dan memborong semua peran protagonis. Karena kadang-kadang negara memainkan sebuah tesa yang antagonis.

Negara tetaplah sebuah tesa, sesengit apapun frasa parsial yang ingin dibangun oleh politisi di dalamnya. Tesa kata Hegel adalah sebentuk fenomena, problematika, kekusutan bahkan kontraproduktif bagi gapaian utopia. Tanpa cita-cita untuk sampai ke utopia, negara hanyalah ritual kecemasan.

Maka negara membutuhkan antitesa agar ia tetap berada di laluan yang tepat: sebuah ritual birokratis yang bergerak mendekat ke arah kemakmuran semua, bukan sepilah-sepilah, bukan hanya untuk orang dalam dan membiarkan rakyat di luar sana terus terimpit dan terhegemoni.

Antitesa yang bergema di ruang publik harus dianalisis dalam logika formal. Hal ini hanya bisa terlaksana dengan gerakan pikiran, bukan berpusat kepada kelumpuhan akal para oligarki. 

Tersebutlah di sebuah negeri, ketika orang-orang bijak bestari yang lolos dalam seleksi oligarki, tiba-tiba melupakan kenangan kecerdasan mereka.

Kawanan oligarki yang bercokol dalam negara dan semua elemen luaran yang menopangnya, tidak bisa mengambil penuh dan menerjemahkan seluruh Pancasila sebagai falsafah negara untuk diperalat menjadi perisai politik kekuasaan. Mereka harus membiarkan publik tanpa kecuali menyodorkan terjemahan mereka.

Negara demokrasi tidak berhak mengusir semua antitesa, kecuali mereka mampu membuktikan sebaliknya. Tugas negara bukan menutup semua celah kritik, tapi membuat tidak ada ruang tersisa untuk dikritik. 

Sepanjang masih ada kritik, mari kita bicara. Tesa dan antitesa harus berunding sehingga lahir sintesa. Sintesa itu berupa konsensus nasional untuk memenangkan rakyat.

Negara harus memperkuat Pancasila dengan menolak semua proposal ideologi lainnya, katakanlah liberalisme, sosialisme, komunisme, dan khilafah. Ideologi-ideologi ini akan bungkam dengan sendirinya bila negara sudah mampu membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi bernegara yang terbaik.

Negara tidak perlu melabel  gerakan-gerakan berpikir tertentu sebagai radikal, barangkali mereka hanya menawarkan alternatif karena melihat gejala Pancasila yang selama ini dijalankan telah terkontaminasi ideologi-ideologi penyelinap dan tidak mampu membawa bangsa ini kemana-mana selain sebagai penghapal sila satu sampai lima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun