Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama FEATURED

Tragedi dan Komedi

16 September 2019   08:33 Diperbarui: 27 Januari 2020   00:09 1872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Sungguh aneh, tentang fenomena manusia yang menghibur dirinya dengan menonton panggung tragedi. Menikmati kepiluan dan rasa takut yang dialami tokoh protagonis, yang di ujung cerita berhasil memindahkan derita itu kepada pemeran antagonis. Kita menunggu sebuah penderitaan berpindah, kita mengikuti penderitaan itu.

Dunia lebih dipenuhi tragedi ketimbang komedi karena manusia menyerap kepiluan dari setiap fenomena yang mereka alami dan selalu ingin terlibat di dalamnya.

Seperti kata Wallace D Wattres dalam bukunya The Science of Getting Rich yang terbit pada 1910, pikiran tentang perang akan menarik lebih banyak perang, demikian pula untuk wabah penyakit, bencana alam, dan kelaparan. Keserupaan menarik keserupaan. Gagasan ini oleh Rhonda Byrne dipopulerkan dengan istilah Law of Attraction (LoA) atau Hukum Tarik Menarik.

Untuk melenyapkan tragedi adalah dengan melupakannya. Planet ini hanya senda gurau belaka. Kelimpahan hanya bisa ditarik oleh syukur dan kegembiraan. Dan kegembiraan selalu datang dari tawa, yang memiliki sumber berlimpah dari komedi. Betapa banyak orang yang kecanduan obat untuk mencari bahagia, atau menenggak alkohol untuk sengaja mabuk lalu melupakan tragedi.

Di antara kita pernah mendengar tentang tragedi gas ketawa hasil temuan Joseph Priestley di Eropa (1793). Orang-orang menghirup gas pemati rasa bernama Nitrous Oksida itu untuk membuat mereka bisa tertawa. Mereka gagal menemukan itu dari komedi. Tapi bagaimana dengan tragedi? Apakah kita memang jenis makhluk yang sadis: menghibur diri dengan tragedi.

Berita yang paling banyak kita nikmati adalah tragedi. Sinema yang paling ingin kita tonton bertema kekerasan atau horor. Novel-novel derita cinta dan pengkhianatan selalu paling laris. Sophocles dan Shakespeare abadi karena mereka menulis tragedi.

Anak-anak milenial menikmati tragedi dalam bentuk Mobile Legends atau Clash of Clans. Orang berselera humor rendah, terpingkal melihat tragedi sebuah sepeda meluncur ke dalam selokan. Orang-orang cerdas mengkritisi tragedi dengan cara satire seperti Voltaire.

Kembali ke Aristoteles, bila komedi dianggap inferior, dapatkah tragedi disebut superior? Sedangkan ada bagian dari tragedi yang dilakukan pesakitan berperangai masokis (masochist). Mereka menikmati ketika dirinya disiksa, sementara orang-orang sadis menikmati penyiksaan yang mereka lakukan, lalu keduanya bekerjasama dalam sadomasokis.

Bahkan yang selalu menjadi korban tragedi adalah orang-orang inferior, bukan karena ia mendapat ujian atas kebajikannya, tapi akibat dari kenaifan dan kedaifannya.

Sebaliknya komedi abad ini adalah industri cerdas yang bisa dikemas cara elegan dengan berbagai teknik untuk memanipulasi penonton. Hal ini dapat kita lihat pada stand up comedy yang diulas para pakar. Komika bisa disebut genius bila ia mampu membelokkan premis yang absurd dan irasional untuk meledakkan tawa tanpa perlu memasang muka atau gerakan aneh.

Bila kita gagal menjemput kegembiraan dari komedi, perlukah kita menertawakan tragedi seperti Joker dalam Batman? Bisa saja, jika tidak hari ini mungkin nanti. Seperti rumus sutradara Woody Allen, komedi = tragedi + waktu. Kutipan ini muncul dalam salah satu dialog di film Crime and Misdeamanor, bahwa apa yang kita tangisi dan membuat kita marah sekarang, akan membuat kita tertawa nanti. Tragis? ~ MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun