Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tuhan dan Taruhan Pascal

10 Maret 2019   09:15 Diperbarui: 10 Maret 2019   10:13 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: immediate.co.uk

Manusia modern berada dalam kegelisahan panjang ketika sains terus mendesak masuk ke wilayah kekuasaan Tuhan. Para petani kuno yang merasa sebagai puncak penciptaan, mencari tuhan apapun untuk disembah. Namun begitu sains muncul, agama terutama di dunia Barat bergeser kepada pemujaan manusia.

Humanisme menjadi agama baru manusia modern yang belum lama melewati revolusi sains. Ide-ide dasar humanisme seperti liberalisme, komunisme, dan Nazisme misalnya memusatkan seluruh dinamika kosmos kepada kepentingan manusia. Semuanya menjadi paradoks karena humanisme bertugas memastikan tidak ada satu manusiapun boleh tersakiti, bahkan oleh tuhan. 

Kejahatan berlandaskan tuhan di abad kegelapan dijadikan alasan pematahan mitos dengan cara ini: Tuhan tidak mungkin jahat. Tuhan penghukum dan pemarah yang melirik dengan kejam di atas ketinggian hanyalah imajinasi manusia kuno. 

Tuhan yang bersekongkol dengan iblis untuk mengusir Adam, jangan-jangan bukan tuhan. Jika demikian adanya, tuhan tidak ada. Karena Dia begitu mulia. Begitu kira-kira.

Dalih lainnya, para saintis meminjam Tuhan Aristoteles yang berada jauh di ujung semesta raya. Tuhan hanya sebagai penggerak pertama (prima causa), dan memberikan percikan ilahi kepada manusia. Setelah itu tuhan beristirahat atau mati ketuaan. 

Jika tuhan tidak juga mati, maka mereka meminjam Orang Gila ciptaan Nietzsche untuk membunuhnya. Atau segera percaya pada Kosmolog Stephen Hawking yang menjelajah semesta raya dan tidak melihat tuhan yang ia cari di Horizon Peristiwa sebagai pembatas ruang dan waktu.

Apa kata Carl Sagan yang mendapat julukan The People's Astronomer. "Gagasan bahwa sosok Tuhan adalah seorang pria kulit putih besar dengan janggut yang menjuntai dan sedang duduk di atas langit untuk menghitung berapa banyak burung gereja yang jatuh, adalah sangat menggelikan. 

Tapi jika 'Tuhan' itu berarti seperangkat hukum fisika yang mengatur alam semesta, maka itulah yang disebut Tuhan". Sagan menyangkal sebagai seorang ateis dan hanya mengaku agnostik.

Salah satu dogma humanisme Barat adalah bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Tidak ada takdir, yang ada hanyalah eksistensialisme. Kegelisahan eksistensialis menjadi tema utama era romantisme Eropa. Pergulatan antara etik dan estetik terselesaikan dalam dialektika kronologi.

Bila di abad kegelapan, ateis adalah kejahatan tak terampunkan, maka zaman ini ateisme adalah lifestyle. Apakah kemudian pemuja humanisme mengaku paling modern? tidak sebentar lagi. Teori ini segera kuno, ketika para saintis sedang mengaktifkan bom waktu di laboratorium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun