Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kita Semua adalah Filosof Sampai Umur Lima Tahun

21 Desember 2018   14:12 Diperbarui: 21 Desember 2018   14:58 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (F: helio)

Kita semua terlahir sebagai filosof sampai umur lima tahun, saat pikiran belum sekolah dan dijejali nalar awam. Ketika kita mulai menjadi manusia mekanis penghapal, disumpal rumus-rumus dan teorema serta kekakuan kurikulum.

Kita tumbuh menjadi manusia linier, mengambil satu minat khusus untuk kemudian kita jadikan tulang punggung kehidupan pribadi. Melewati rutinitas harian mirip roda hamster dan tak peduli.

Dan kita mulai berhenti bertanya mengapa matahari mengikuti kita, sampai di mana ujung langit atau mengapa kita dilahirkan sebagai manusia, bukan kupu-kupu? Orangtua kita akan menghentikan setiap pertanyaan dengan jawaban: memang seperti itu mau diapakan lagi. Khas common sense.

Cobalah, bila kita sedang bermimpi menjadi kupu-kupu, kita tidak akan pernah tahu bahwa kita sebenarnya adalah manusia sampai kita terbangun. Tarzan mengambil esensi simpanse sampai ia ditemukan. Kita adalah pikiran? Esensi mendahului eksistensi, kata Plato.

Tidak juga, kaum eksistensialisme sudah membalikkannya. Ingat, filosof paling dewasa macam Immanuel Kant dan mungkin Descartes atau Hegel tidak begitu memihak. Rangkum saja keduanya.

Jika Socrates hidup di zaman ini, dan melihat anak-anak SD sedang mengikat tali sepatunya -untuk puluhan tahun ke depan- pada hari pertama masuk sekolah, dia akan berkelakar: cie, filosof gagal!Socrates memang kurang kerjaan, terlalu nyinyir. Ia begitu banyak bertanya ketika ia sudah menyimpan seluruh jawaban untuk pertanyaan itu.

Padahal di zaman itu sudah ada kaum Sofis, para intelek yang menjual sedikit ilmunya, tapi menutup kemungkinan terhadap keliaran dan keluasan pikiran filsafat. Mereka umumnya para penghapal monoton yang membatasi otaknya pada kurikulum, tapi kata-kata mereka didengar oleh warga Athena yang malas berpikir.

Malas berpikir akan menjadi satu soalan. Mengapa Athena menjadi taman bermain para filosof dan Sofis adalah karena mereka punya peluang yang besar untuk berpikir. Mereka sudah mengimpor sangat banyak budak dari Asia Kecil untuk melakukan rutinitas harian. Paradoks selalu ada dan pikiran awam dititipkan begitu saja kepada kaum Sofis, mitos dan paganisme.

Dari ruang Seminar Internasional: Peran Penyair dalam Sejarah yang berlangsung di hotel Aston, Tangjungpinang, Jumat, 30 November 2018 lalu, saya mengimprovisasi beberapa hal yang tidak tercantum dalam makalah.

Yang pertama, saya mengutip Soren Kierkegaard (1813-1855), seorang filosof eksistensial Denmark yang menyebut bahwa manusia dikutuk untuk bebas, untuk mengatakan bahwa saya bebas menggugat definisi sejarah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun