Sihir selalu identik dengan kejahatan dunia hitam. Tidak sedikit tukang sihir sudah dibakar atau disiksa. Trasmoz sebuah desa di Spanyol telah dituduh sebagai surga para penyihir. Desa ini dikutuk, seluruh kastil dibakar. Trasmoz menyisakan reruntuhan selama 13 abad, 10.000 ribu penduduk lenyap, tersisa hanya 62 orang sebagai "penyihir terakhir".
Afrika pula menjadi benua yang memiliki ketakutan berlebihan terhadap mitos sihir. Di Burkina Faso, orang-orang percaya bahwa para penyihir selalu berkeliaran memakan daging dan jiwa manusia, serta meminum darah mereka. Tuduhan sebagai penyihir tidak hanya dialamatkan kepada orang-orang eksentris, tapi juga anak-anak dan hewan.
Tidak semua penyihir punya stigma jahat, setidaknya dalam Harry Potter, tentang para penyihir putih berupaya mengalahkan penyihir jahat bernama Lord Voldemort, yang berambisi untuk menjadi makhluk abadi dan berkuasa penuh. Namun, paling menggemparkan, ketika ribuan penyihir hitam bertobat serentak. Mereka adalah para penyihir suruhan Fir'aun untuk membungkam Musa.
Selain sisi spritual mereka yang tercerahkan, ada sisi lain yang menarik yakni tentang etika dan kesantunan. Sebagai penyihir hitam yang ribuan banyaknya, serta berada di sisi penguasa terbesar imperium Mesir, mereka tidak langsung menghantam Musa yang tanpa pangkat apapun. Para penyihir Fir'aun memulainya dengan dialog yang santun.
Ahli-ahli sihir berkata, hai Musa, kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu ataukah kami yang akan melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan (membantu melemparkan tongkat Musa)? Musa menjawab, lemparkanlah (lebih dahulu)! (QS al- Araf:115-116).
Diriwayatkan, para penyihir Fir'aun kemudian melemparkan tongkat dan tali yang kemudian menjelma menjadi ular-ular menakutkan. Lalu giliran Musa melempar tongkatnya yang berubah menjadi ular raksasa, kemudian memakan semua ular jelmaan yang ada.
Mereka serentak membelakangi Fir'aun biarpun diancam dengan hukuman yang pedih. Tangan dan kaki para ahli sihir yang sudah takluk oleh Musa akan dipotong dengan keadaan terbalik. Firaun pun akan menyalip mereka di tiang kurma.
Dari dialog antara tukang sihir dan Musa, kita dapat memetik pelajaran tentang pentingnya etika dan kesantunan. Menyusul hari ini, dari memanasnya suhu politik, etika dan tatakrama yang tersisa hanya sedikit. Talkshow atau gelar wicara yang dimunculkan oleh kapitalisme televisi dan disiarkan secara live tidak mampu mem-filter orang-orang yang terbakar emosinya, lalu merusak etika. Menjadi preseden buruk bagi jutaan masyarakat televisi.
Debat-debat politik dalam talkshow hari-hari ini ibarat main cakar-cakaran. Yang satu belum selesai, yang lain sudah menimpa. Terkadang mereka bicara serentak dengan nada tinggi. Ada yang menjerit dan menuding-nuding hidung lawan bicaranya. Tidak ada dialektika, kecuali memenangkan debat dan secepatnya menguasai panggung.
Talkshow terkadang berujung seperti kita melihat pembicaraan tanpa pokok dalam tradisi Adda di Kolkata, India. Masih lumayan, karena Adda adalah bual kelakar dengan suhu rendah. Tapi debat politik dalam talkshow televisi Indonesia terlihat kacau ketika yang hadir adalah kaum reaksioner versus sumbu pendek temperamental. Â