Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Ada Demokrasi Kecuali dengan Cara Ini

19 Februari 2018   10:28 Diperbarui: 26 Februari 2018   13:32 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://s.err.ee/photo

Siapa tahu, kita tiba pada suatu masa, ketika sistem pemilu sudah terdigitalisasi sedemikian rupa, bahkan jauh melompati teknologi e-Voting yang kini mulai diwacanakan. Titik fokusnya bukan lagi pada soal klasik semisal memungut suara dengan sekali klik di layar sentuh, tapi lebih kepada basis data dari A sampai Z tentang kandidat yang akan dipilih.

Para kandidat tidak lagi melewati suatu ritus politik yang menjemukan dan bertele-tele, sebuah sistem data besar berbasis Coexistence of Cloud and On-Premises Databases -katakanlah demikian- langsung merilis tiga atau lima besar persona yang memenuhi semua kriteria. Mereka akan memuncaki panggung politik digital tanpa perdebatan, dan sistem tidak akan berdusta bahwa merekalah manusia terbaik untuk memimpin.

Seperti sebuah kota bernama Elysium City pada tahun 2100 yang digambarkan Hollywood, rekam jejak setiap orang sudah tercantum pada database mulai dari derajat kesehatan jasmani dan psikologi hingga kepada peta genetika, multi kecerdasan, dan prediksi yang 100 persen akurat. Setiap warga negara sudah terkategori secara otomatis, tentang potensi-potensi, siapa saja yang punya kemapanan menjadi pemimpin, pebisnis, teknokrat, seniman atau yang hanya mampu menghirup oksigen.

Sistem ini akan mereduksi seluruh potensi human error dalam proses demokrasi, akibat kesalahan menempatkan dan menemukan kandidat terbaik, baik oleh tabiat politik yang terlembaga maupun ekspekstasi individu yang gagal menebak. Dengan rekam jejak setiap orang yang sudah tergitalisasi paripurna, siapapun menjadi punya kesempatan penuh untuk dipilih sebagai pemimpin, tidak peduli apakah seseorang itu selama ini lebih banyak pergi ke hutan atau seorang pertapa yang tak pernah bersua dengan akses politik apapun.

Aroma-aroma paternalisme, romantisme, kultus individu, primordialisme, populisme dan seterusnya segera menguap dan tergantikan dengan akurasi dan efektifitas. Hasil akhir pesta demokrasi yang selama ini terkacaukan oleh pretensi dan pencitraan tanpa esensi mau tidak mau akan kembali ke jalan yang benar. Jalan yang mestinya telah ditempuh oleh sistem demokrasi sejak zaman Abraham Lincoln.   

Tidak ada lagi kampanye model lama, mengumbar-umbar janji lewat jejeran baliho yang menganggu estetika kota atau publikasi narsistik sosial media. Tidak ada polarisasi, tidak ada keributan superfisial. Demikian pula mobilisasi massa robotik berseragam partai yang lebih mementingkan sisi entertainment ketimbang mematuti a,b,c,d pidato kampanye: glorifikasi minus dialektika. Karena seluruh program pembangunan sudah dirumuskan oleh kumpulan pakar terpercaya ke dalam sebuah prototipe atau cetak biru, tinggal menentukan siapa yang paling sanggup menjalankannya.

Para kandidat tak perlu lagi memperkenalkan diri kepada setiap orang - aku si anu, telah dan akan berbuat apa jika terpilih - karena seluruh sejarah dan atribusi apapun yang melekat pada dirinya, sangat mudah diakses oleh siapa saja dengan sekali ketukan pada layar gawai.

Kita bisa mengenang, bahwa hasil akhir dari sebuah konstestasi politik selalu tidak merupakan hasil yang paling maksimal, jika tidak ingin dikatakan gagal secara teori. Ini sebagai balasan dari kerja - kerja demokrasi dan mesin politik yang digerakkan untuk pola pengkaderan selalu parsial dan eksklusif. Akhirnya orang - orang hebat gagal atau sengaja tidak ditemukan, atau mereka sendiri yang sejak awal menghindar karena tak mampu menembus domain politik. Akhirnya parameter demokrasi hanya diukur dari prosedur, angka dan transparansi.

Fenomena lain, ketika para kandidat dipertemukan dengan masyarakat pemilih di lapangan terbuka demokrasi, ketika itu pula mereka akan saling mengerkah. Michael Sandel, filsuf dari Havard University pernah berujar, what money can't buy? Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang? Masyarakat bahkan tidak perlu tahu apa makna politik transaksional ketika mereka melakukan itu.

Sejauh ini, kita tidak pernah ingin berkeringat untuk menemukan pemimpin terbaik. Semuanya memainkan jalan singkat, apa yang ada di depan mata dan itu akan selalu dianggap sebagai demikian adanya (common sense). Maka apa yang disebut sebagai demokrasi itu sebenarnya belum pernah ada, kecuali yang ditampilkan oleh sekelompok aristokrat secara seolah - olah.

Tidak heran bila yang muncul pada siklus lima tahunan adalah kelompok oligarki, yang berputar pada segelintir orang bahkan secara generatif. Sedangkan rakyat yang tertarik pada konstestasi politik lebih banyak diisi oleh kerumunan juru sorak dan tukang elu - elu. Yang lain tenggelam dalam urusan masing - masing dan tak peduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun