Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maka Berhentilah Berpikir!

30 Mei 2016   11:49 Diperbarui: 30 Mei 2016   12:10 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Orang Berpikir (ohafi.com.tr)

Pikiran bisa lebih sibuk dari Frankfurt, kota tersibuk di dunia. Jumlah koneksi pikiran dalam otak lebih banyak dari jumlah atom sejagat dan lebih cepat dari kereta api tercepat di dunia. Manusia paling jenius hanya menggunakan 10 sampai 15 persen kemampuan otak mereka. Jika ternyata bisa digunakan sampai 100 persen, para ahli otak berfatwa: manusia akan mampu menghapal seluruh jumlah atom yang ada di planet ini. Begitu dahsyatnya kemampuan otak manusia, lantas mengapa pula saya meminta Anda berhenti berpikir hari ini? Yuk mari..!

Sejak titik nol kilometer peradaban manusia, sejak itulah manusia sudah mulai berpikir. Mulai dari era mistik mitologis kemudian berangsur jadi logis rasional. Pikiran – pikiran telah mengubah dunia dan tabiat manusia. Pikiran bertali temali dalam konsep. Pikiran itu rapuh, konsep – konsep itu rapuh. Semakin banyak konsep diciptakan semakin banyak pula perlawanan dan kekacauan.

Konsep hanya bertengger sebentar dari sejarah konstalasi umat manusia, sampai diciptakan konsep baru. Kecuali terjadi lompatan besar dalam revolusi berpikir, misalnya dari zaman kemenyan mitologis ke zaman menyambung huruf latin, konsep – konsep lebih baru akan diterima lebih cepat.

Bahwa pikiran telah banyak gunanya untuk membuat menara dan jembatan, itu betul. Tapi pikiran dan konsep telah menciptakan perang dan ketegangan urat leher. Satu konsep tercipta misalnya tentang klasifikasi ras atau pengakuan sepihak atas zona teritorial, membuat manusia terbunuh ribuan bahkan jutaan. Konsep – konsep tentang kesejahteraan puak atau klan dan tentang marwah mahkota diraja, membuat orang makin menajamkan senjatanya.

Konsep kecantikan dan dunia mode juga begitu. Zaman Firaun, wanita macam Cleopatra lah yang tercantik. Padahal sejumlah penyelidikan sejarah menyebut, ia pendek dan coklat. Di zaman Leonardo da Vinci, Mona Lisa pula gadis paling elok rupawan, padahal ia tambun dan pipinya penuh.

Di zaman serat optik sekarang ini, wajah tirus dan tipis semampai lah yang jadi idola, padahal banyak pria mengaku, tipe minimalis begini tidak empuk dipeluk, dan membuat risau siapa saja ketika mereka mulai tertiup angin kencang. Mungkin di masa depan, ketika Mark Zuckerberg sudah tinggal sejarah, wajah simetris tajam ala robotik pula yang dikejar – kejar pria. Tidak takut kena setrum rupanya.

Kita yang bodoh ini menganut saja, apa – apa yang sudah didiktekan oleh entah siapa. Sampai – sampai ada yang muntah di toilet pesta, hanya untuk menjaga betisnya tidak lebih besar dari kaki meja. Demi menunjukkan ketaatan pada konsep kecantikan yang didiktekan itu, seseorang rela sekujur tubuhnya diganyang operasi plastik, disuntik, disayat, disumpal. Alis dicukur habis kemudian ditulisi lagi serupa semula, apa lah. Itu baru dari satu sisi, terlalu banyak sisi gelap kehidupan yang dipaksakan oleh pikiran. Pikiran kita dan lebih selalu pikiran orang lain.

Mazhab – mazhab ekonomi lebih banyak menciptakan kesengsaraan, penghisapan dan hutang. Karl Marx menyikut Adam Smith. Smith mengacungkan tinju ke muka John Maynard Keynes, dan Keynes menyipitkan mata pada semua konsep ekonomi yang ada, lalu menandaskan konsepnya sendiri.

Bukan tidak seluruhnya buruk, alih – alih saling menguatkan, masing – masing konsep dibuat untuk saling membantah. Ahli segala ahli bahkan tak pernah ingin holistik, mereka mengambil spesialisasi, makin parsial, makin mengkotak.

Begitu banyak ahli tata negara, tapi tetap saja Indonesia hampir salah urus. Makin banyak ahli ekonomi, ahli hukum, politik, sosial, sejarah dan budaya, makin banyak pula yang terbengkalai. Semua bicara atas keahlian masing – masing berbalut kesombongan intelektual. Semakin mereka banyak bicara, semakin kekacauan terjadi di mana – mana. Kenapa ini tidak selesai? Karena manusia tidak generalis, tidak sederhana dan tak ingin rebah ke tanah. Akhirnya kepala berasap, urat leher menonjol dan apa – apa yang sudah dibicarakan selalu silang menyilang dengan konsep yang lain.

Manusia terlalu linier, terlalu prosedural dan ketika prosedur itu ditabrak, mereka menganggap teror telah terjadi. Begitu pula dalam kehidupan sehari – hari kita. Konsep adat istiadat, perspektif kanonik, petuah – petuah lama yang kita pegang, itulah yang menurut kita paling benar. Dan ketika konsep itu tidak segaris dengan realita yang kita hadapi, yang kemudian terjadi adalah berbantah – bantah, berbunuh – bunuh, paling kurang tak lagi bertegur sapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun