Bulan Dzulhijjah selaku bulan terakhir dalam kalender Islam tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Lebih dari satu juta orang yang memeluk agama kedamaian ini memenuhi panggilan Sang Pencipta untuk berhadir lagi berjumpa dengan manusia lain pula pada sebuah tempat yang penuh dengan sejarah. Dimulai dengan kisah terciptanya Sumur Zam-zam, Peristiwa Sa'i dan Pelontaran Jumrah. Sang protagonis yang menjadi awal cerita, namanya selalu disebut dalam setiap pengabdian harian oleh para pengikutnya.
Lima waktu setiap harinya setelah sujud terakhir adalah saatnya. Umat mengharapkan kesejahteraan serta kedamaian tercurah kepadanya serta keluarganya. Namun, ada dua kali yang lebih istimewa. Jamaah yang memenuhi masjid maupun tersebar di tanah lapang mengumandangkan takbir sebelum shalat didirikan. Sekali setelah puasa sebulan usai, sekali di bulan saat Masjidil Haram diisi hampir penuh oleh manusia.
Bagi yang belum mendapatkan kesempatan untuk berada di tanah suci, sebuah syariat yang perlu dilaksanakan masih dapat dilakukan di tempat kediaman masing-masing. Tukang jagal mendapat pesanan untuk dengan lembut mengakhiri kehidupan para binatang ternak. Masyarakat menjadi lebih semangat untuk melaksanakan gotong royong.
Perintah dari Yang Maha Pengasih inipun memiliki hikayat tersendiri. Kisah tersebut seakan dibahas setiap tahunnya. Cerita tentang seorang hamba bernama Ibrahim yang dikaruniai anak setelah sekian lama, kemudian mendapat perintah dalam mimpi untuk menyembelihnya.
'(100) (Ibrahim berdoa,) "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh." (101) Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun. (102) Â Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar."' (As-Saffat/37:100-102)
Dari kutipan ayat tersebut beserta terjemahan, ada sebuah pesan tersurat yang dapat memberi makna dalam kehidupan para pembaca serta mereka yang mengamalkannya. Mayoritas dari para penutur akan mengisahkan tentang pengorbanan Ibrahim demi mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dia yang mengikhlaskan sang buah hati untuk diserahkan sepenuhnya.
Namun, pesan tersurat itu lebih nampak dibanding ibrah yang begitu sering diambil. Sebuah pertanyaan sebelum keputusan tetap diambil. "Pikirkanlah apa pendapatmu?"
Selama ini, status seorang anak membuat manusia mengemban amanah untuk berbakti kepada orang yang telah melahirkan dan merawat mereka. Perintah mulia itu turut disandingkan dengan penghambaan kepada Yang Maha Mulia.
'Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.' Â (Al-Isra'/17:23)
Orang tua tidaklah menginginkan sesuatu kecuali yang terbaik bagi sang buah hati. Akan tetapi, alangkah elok apabila setiap orang tua "mempertanyakan" segala keputusan yang dibuat untuk anak mereka. Terlebih setiap manusia terlahir dalam keadaan fitrah, sehingga orang tua menjadi penunjuk arah pertama dalam kehidupan.
'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap anak dilahirkan di atas al millah (agama fithrahnya, Islam), namun, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani, atau menjadikannya seorang yang musyrik."' (HR. Tirmidzi:2064)