Mohon tunggu...
M Nadi el_Madani
M Nadi el_Madani Mohon Tunggu... mahasiswa -

Senang membaca, menulis dan berdiskusi|bagi saya, dengan semangat dan ketekunan apapun dapat dilalui

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jadilah Emas

9 November 2015   18:44 Diperbarui: 9 November 2015   19:38 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tahun ini adalah tahun pertama saya kuliah. Meski sebenarnya saya telat, menilik umur saya yang sudah 22 tahun, tetapi saya tidak ingin menyerah. Toh, ketika di pondok pesantren, saya diajari bahwa belajar itu tidak mengenal batas usia; mulai semenjak lahir sampai ajal menjemput nyawa.

Kuliah adalah salah satu impian yang telah saya tulis dalam buku harian saya. Kenapa kuliah? Karena saya diajari bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu. Ilmu apa saja boleh dipelajari bahkan dianjurkan asalkan dapat membuat kita menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan pula bagi orang lain.

Saya sering membaca riwayat hidup ulama-ulama dulu dan tokoh-tokoh dunia yang sukses dan memiliki karya berlimpah dalam segala bidang. Dari apa yang saya pelajari dari riwayat hidup mereka, saya tahu satu hal, yaitu bahwa kunci sukses itu adalah ilmu. Dengan ilmu kita dapat menjadi apa saja yang kita inginkan. Nilai seseorang dilihat dari ilmunya. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, semakin tinggi nilai yang dimiliki. Begitu pun sebaliknya, orang yang tidak punya ilmu tidak memiliki nilai apapun. Sampah.

Itulah di antara alasan kenapa saya ingin kuliah setelah menamatkan pendidikan di pondok pesantren. Setelah saya amati, ada perbedaan yang cukup signifikan antara pendidikan di pesantren dan di universitas. Perbedaan itu bukan melulu soal materi, lingkungan ataupun system yang dimiliki keduanya. Penbedaan semacam ini tentu bukan sebuah masalah. Karena, masing-masing lembaga pendidikan memiliki kebijakan sendiri yang berbeda dengan lembaga pendidikan lain.

Namun, perbedaan yang saya kehendaki adalah dalam masalah niat atau tujuan kuliah dan mondok. Jika di pondok dulu saya diajarkan mencari ilmu karena lillahi-ta’ala, di universitas saya langsung disuguhi dengan prospek-prospek fakultas atau jurusan yang dipilih. Dengan kata lain, sudah bukan lillahi-ta’ala lagi. Bukan lagi mencari ilmu tetapi mencari pekerjaan. Di situlah, menurut saya, kekurangan dari universitas-universitas di Indonesia.

Pengaruh dari perbedaan niat ini sangat signifikan, terutama dalam membentuk karakter dan mental. Orang yang kuliah karena ingin mencari ilmu atau menghilangkan kebodohan (lillahi-ta’ala) akan berbeda mental dan karakternya dengan yang bertujuan hanya mencari titel atau gelar. Orang yang kuliah karena ingin mencari ilmu akan lebih focus dan selalu berpikir positif karena mereka tidak dibebani oleh keinginan-keinginan yang masih belum pasti yang (juga) belum tentu bisa dipenuhi. Mereka bebas, sehigga kreatifitas mereka akan menguap begitu saja.

Ketika mereka diberi sarana yang memadai maka mereka akan selalu siap, kapanpun dan di  manapun, untuk mengeluarkan kemampuan terbaiknya tanpa ragu sedikitpun. Mereka juga akan lebih bertanggung jawab dan lebih jujur daripada yang kuliah karena ingin mencari gelar. Sebab, ilmu lah yang mengajarkan mereka seperti itu. Akhirnya, mereka akan menjadi emas yang akan dicari oleh siapapun sampai kapanpun dan di manapun.

Berbeda dengan yang kuliah karena ingin mencari gelar atau pekerjaan. Mental dan karakter mereka akan lemah dan mudah goyah. Pola pikirnya pun akan sempit. Saat apa yang mereka inginkan tidak terpenuhi maka hidup mereka akan dipenuhi kegelapan.

Mata mereka tertutup oleh keinginan-keinginan mereka. Orang tipe seperti ini tidak akan maju secara signifikan karena dia telah mengekang dirinya dari kemajuan dan kesuksesan yang lebih besar. Dia terisolasi oleh keinginan semu yang belum pasti. Pada akhirnya, mereka akan berbuat culas ketika keinginannya sulit terpenuhi. Hal semacam ini pasti. Tentu, mereka tidak akan menjadi emas yang selalu dinanti.

Kita mungkin bertanya-tanya, kenapa banyak sarjana di Indonesia yang menganggur? Salah satu faktornya (mungkin) adalah ketiadaan ketulusan dalam mempelajari ilmu. Maka dari itu, KH. Robitul Firdaus, SHI., MSI (Alumnus dan Ph.D Candidate IIU Malaysia) mengatakan, “Kita jangan mempersempit masa depan kita dengan berpikir linear.” Dengan kata lain, pelajari semua ilmu dengan tulus dan niat yang baik bukan melulu sebagai mencari tiket untuk kerja.

Jadi, memperbaiki tujuan (niat) adalah hal pertama dan paling utama yang mesti dilakukan sebelum kita belajar di sebuah universitas. Niat yang benar dan tulus akan menjadikan kita kuat. Jangan sampai masa depan kita dikekang oleh keinginan-keinginan yang belum pasti. Orang yang berilmu dan berpengetahuan luas pasti akan sukses. Dia adalah emas yang akan senantiasa dicari di manapun ia berada. Di WC sekalipun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun