Mohon tunggu...
Muhamad Romli
Muhamad Romli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar Yang Tak Kunjung Pintar

Mahasiswa semester 4 jurusan Ilmu Hukum universitas Singaperbangsa Karawang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Orangtua yang Matang

4 Desember 2021   13:41 Diperbarui: 4 Desember 2021   13:46 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang benar, sebagai seorang remaja postmodern, kita harus berpikir jauh, termasuk memikirkan bagaimana kita akan memperlakukan, menghidupi, dan mendidik anak kita. Seorang anak bukan hanya sebagai sesuatu yang dititipkan Tuhan, namun juga sesuatu yang kita sadari sebab kehadirannya. Kita bisa memutuskan apakah kita ingin memiliki anak atau sebaliknya (child-free). Dan, saat  kita mengerti bahwa kehadiran mereka adalah sebuah sebab dari apa yang kita lakukan, secara etis (ethics) kita bertanggung jawab (responsible) atas kehidupan mereka sejak mereka lahir hingga mereka cukup matang untuk memutuskan hidup mereka sendiri (mature).

Tanggung jawab kita sebagai orang tua meliputi banyak sekali aspek, yaitu materil dan nonmateril. Tentu saja untuk dapat memberikan kecukupan kebutuhan tersebut kepada anak-anak diawali dengan kematangan diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa menuntun anak kita menjadi matang sementara kita sendiri masih mentah (immature)?

Matang tidak sama dengan tua. Banyak mereka yang tua namun masih belia dalam hal menjadi orang tua. Matang adalah saat kita sebagai orang tidak lagi punya masalah dengan diri sendiri, seperti emosi, finansial, dan ilmu pengetahuan; sehingga tidak ada masalah yang nantinya akan berimbas pada sang anak.

Saya tentu saja menyayangkan dengan keras pada mereka yang memilih menikah dan memiliki anak saat dirinya sendiri dalam tahap belajar menjadi matang. Saya tidak munafik, bahwa saat seorang remaja menemukan seseorang yang mereka rasa cocok secara emosi (love), mereka juga cenderung untuk berkeinginan bersatu secara fisik---termasuk berhubungan seks---karena saat mulai balig pun kita sebenarnya sudah cakap untuk itu, hanya soal tidak adanya pengetahuan saja. Namun, pernikahan bukan hanya tentang persatuan fisik, namun ada tanggung jawab yang membutuhkan kematangan tadi---dalam hal memiliki anak, misalnya.

Seorang yang kekanak-kanakan (ini ranah subjektif, sih) tentu saja menjadi sebuah masalah jika dia memiliki anak yang harus dididik dan dihidupi. Emosi diri sendiri saja masih harus dibenahi, bagaimana bisa dalam waktu yang bersamaan dia membangun emosi seorang anak? Kasarnya begitu.

Untuk masalah emosi, mungkin butuh waktu lama agar seseorang bisa benar-benar matang, bahkan mungkin butuh waktu seumur hidup. Namun, ada hal yang seharusnya bisa diupayakan agar bisa matang saat memutuskan menikah dan memiliki anak, yaitu kematangan finansial dan pendidikan menjadi orang tua (parenting).

Saya sedang berbicara realitas. Jadi, kalimat yang mengatakan bahwa uang bukan segalanya dan rezeki itu Tuhan yang atur tidak masuk pada bahasan ini, karena faktanya, untuk menghidupi anak dan mencukupi kebutuhan mereka (yang mana bisa jadi membuat mereka bahagia) kita tidak hanya dengan berdoa, tapi juga harus bekerja dan berusaha.

Saya membaca entah tulisan siapa yang mengatakan bahwa: terlahir dalam keadaan miskin bukan salah Anda, namun jika anak Anda lahir dalam keadaan Anda miskin, Anda yang harus disalahkan. Seperti itulah kira-kira inti redaksinya. Ini hampir sama dengan nasihat keuangan populer yang entah siapa pula yang mengatakan: jika Anda lahir dalam keadaan miskin, itu bukan salah Anda, namun jika Anda mati dalam keadaan miskin, itu salah Anda.

Makanan, obat, pakaian, mainan, sekolah, dan kebutuhan finansial lainnya menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua. Jika kita sendiri masih bermasalah dengan keuangan sendiri, bagaimana kita dengan menambah masalah dengan mengurusi kehidupan baru? Tentu saja saya paham dengan kebutuhan-kebutuhan anak yang lain, seperti cinta dan kehangatan, namun kali ini saya hanya ingin menyoroti masalah keuangan orang tua.

Sebuah studi mengemukakan bahwa keluarga dengan pemasukan yang rendah (low-income families) menimbulkan berbagai hasil yang rendah (low-outcomes) pula, seperti depresi, perilaku antisosial, kurang gizi, dan kegagalan pendidikan---terutama jika mereka hidup di lingkungan pertemanan yang heterogen, artinya bercampur antara manusia kelas bawah, menegah, dan kelas atas. Lingkungan keluarga yang kekurangan, dan tidak kondusif, merupakan tempat yang toksik bagi perkembangan seorang anak. Oleh sebab itu, sebagai remaja calon orang tua, mempersiapkan kematangan finansial harus menjadi agenda dan salah satu prioritas.

Yang saya maksud dengan kematangan finansial bukan  berarti kita harus mengupayakan hidup yang bergelimang harta. Tidak, bukan itu. Yang saya maksudkan adalah bahwa hidup dalam serba kekurangan memberikan banyak dampak negatif, karenanya kita harus berupaya menjadi orang tau yang mampu memberikan anak-anak kecukupan. Dan, kecukupan merupakan sebuah makna subjektif, jadi silakan Anda maknai cukup itu dengan pemahaman masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun