"Memangnya kenapa, saya biasa saja," kata Legi.
"Apa yang diberikan suamimu?" Kata istri adiknya Kliwon.
"Cinta," jawab Legi.
Kata-kata Legi menjadi bahan tertawaan yang tajk habis-habis, bahkan saat adzan Maghrib berkumandang, ekor tawa itu masih terdengar sayup. Legi mengambilkan kolak untuk dua anaknya yang baru saja masuk ke ruang tamu. Kliwon tampak sibuk berbincang dengan kakak dan adiknya. Ketika Legi menyodorkan segelas kolak, ia bangkit dari duduk dan makan kolak bersama dengan Legi dan anak mereka.
Kliwon tahu, betapa beda keluarga dan keluarga kakak dan adiknya. Tapi apa daya, ia memang tak mampu memberikan lebih kepada istri dan anak-anaknya. Apalagi membelikan gelang dan kaling untuk Legi dan gawai untuk Pon dan Wage. Memenuhi kebutuhan setiap harinya saja Kliwon merasa kesulitan.
"Enakkan berbukanya?"
"Tidak Mbok, masih enak masakan Simbok," kata Wage sambil meletakkan piring tempatnya makan yang penuh dengan tulang belulang ayam dan juga duri ikan gurame. Legi hanya menggelengkan kepala, tetapi ia tak ingin menunjukkan kepedihan hatinya kepada saudara-saudara suaminya.***