Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Kliwon, Episode Bukber Ajang Pamer

19 Mei 2018   16:45 Diperbarui: 19 Mei 2018   16:58 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: kompas.com)

Sebenarnya, Kliwon agak merasa enggan memenuhi undangan buka bersama di rumah, Syawal, kakak kandungnya. Bukan tidak suka dengan pahala silaturrahmi, apalagi di bulan suci ramadhan yang pahalanya bisa berlipat-lipat, sebagian ada yang bilang seribu kali lipat. Tetapi, ia sering merasa tidak tega terhadap, Legi, istrinya.

Kalau kumpul-kumpul dengan keluarga besar, Legi tak pernah bisa bicara seperti para istri adik dan kakak iparnya. Memamerkan barang-barang mewah yang baru dibelinya. Legi selalu menyendiri atau memilih ikut mencuci piring di dapur.

"Apa kamu tidak akan merasa tersiksa?"

"Tidak, Kang. Kita harus datang."

"Apa yang mau dipamerkan kepada mereka?"

"Pamer Kang?"

Legi menarik nafas dalam-dalam. Ia tak mengerti kenapa suaminya tampak begitu khawatir dengan dirinya, sementara ia sendiri tak pernah ada rasa khawatir sama sekali. Apalagi malu dengan saudara-saudara sendiri, dengan tak bisa menggunakan cincin, memakai gelang, dan kalung yang melingkar di leher yang jenjang. Itu hanya hiasan dunia, ia tak menginginkannya. Ia hanya menginginkan hiasan akhirat, yang akan membawanya pada keselamatan abadi.

Si Pon dan Wage sudah berbaur dengan kakak-adik sepupunya. Tawa canda di antara anak-anak itu sangat membahagiakan. Tak ada lagi yang harus dibanggakan kecuali tali persaudaraan yang selalu bisa dijaga erat ikatannya.

Setelah jenuh dengan permainan, anak-anak mulai mengeluarkan gawai mereka masing-masing. Layarnya besar-besar, dan tak ada lagi bezelnya. Si Pon menarik diri, Wage mengikutinya. Mereka keluar dari rumah, dan menunju ke Mushola di samping rumah Pak Denya.

Di sudut ruang tamu, Legi sedang memerhatikan cincin dan gelang yang dikenakan saudara-saudaranya. Semua perhiasan baru, mereka selalu bisa memberi perhiasan baru di setiap tahunnya. Setiap buka bersama, perhiasan dan baju mereka selalu berganti-ganti. Bahkan sebagian, mobil yang dibawanya juga baru.

"Nasibmu memang buruk," kata istri tuan rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun