Kliwon, laki-laki berusia 49 tahun, tampak terbatuk-batuk. Rambut panjangnya yang beruban berkibar-kibar tertiup angin dari kipas angin yang dipasang berdiri. Sesekali ia menyeka matanya yang terasa mulai samar pandangannya.
Dua anak lanangnya duduk bersila dihadapannya, sesekali anak mbarepnya menguap sambil membenarkan posisi peci hitamnya yang miring ke kanan.
"Jadi apa yang hendak kau capai dalam menjalankan puasa?"
Kedua anak lanangnya saling pandang, mengangkat bahu dan masing-masing tak bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaan terbuka itu. Ini bukan soal sepele menjawab pertanyaan itu, kaena sudah terbiasa di sekolah, selalu mengahadapi pertanyaan dengan pilihan ganda, setidaknya, kalau sama sekali tak sinau, tetap saja memilih jawabannya. Perkara salah, bagi anak-anak Kliwon itu bukan persoalan.
"Hayo, siapa yang mau menjawab?"
Si Pon anak mbarep Kliwon tergagap. Ia meraka sebagai anak lanang tertua, sudah semestinya menjawab terlebih dahulu ketimbang adiknya, Si Wage, yang masih unyu-unyu itu. Dengan hati-hati, Si Pon, membuka bibirnya, dan sebaris demi sebaris kalimat mengalir.
"Tak banyak yang saya inginkan," katanya.
Kliwon menatap lamat-lamat ke wajah anak mbarepnya. Ia berharap jawaban anak lanangnya cukup bisa membanggakan setelah baru saja mengaji Kitab Sulam Taufik, sebuah kitab kecil yang dulu ia pelajari saat menyantri di kelas ibtida'.
"Hanya satu, Romo."
"Apa itu?"
"Tidak pacaran selama sebulan penuh."