Satu bagian penting di otak yang disebut prefrontal cortex berinteraksi dengan beberapa bagian otak yang lain, seperti amygdala, hippocampus dan lainnya untuk menghasilkan emotion regulation. Itu yang amat membedakan manusia dengan hewan. Hewan lebih disetir oleh basic instincts-nya, bukan oleh emotion regulaton atau prefrontal cortex-nya.
Prefrontal cortex ini berkembang lambat sejak pertama kali dilahirkan, namun berkembang sempurna di usia sekitar 25 tahun. Tentu ada banyak cara untuk memastikan prefrontal cortex ini berkembang sempurna atau lebih cepat berkembang. Sains menyediakan beberapa cara yang utama.
Emotion regulation bukan kajian baru, karena Socrates & Plato juga membahas ini, meski dengan sebutan yang berbeda. Lalu tahun 1995, Daniel Goleman, psikolog dan jurnalis terkenal menulis 1 buku penting yang memicu berbagai penelitian lanjutan pada emotion regulation hingga beberapa dekade kemudian. Buku Goleman ini berjudul "Emotional Intelligence", kata lain dari emotion regulation. Berbagai riset neuroscience setelah buku ini terbit melengkapi berbagai bahasan tentang emotion regulation.
Emotion regulation ini yang juga diajarkan oleh Jesus Christ 2.000 tahun lalu & The Buddha, 500 tahun sebelum Jesus. Emotion regulation ini yang membentuk karakter prososial yang kemudian berpengaruh besar pada perkembangan positif peradaban manusia.
Jesus adalah tokoh sentral dari Christianity yang dicatat sejarah sebagai figur dengan kemampuan emotion regulation dan karakter prososial yang menonjol. Kemampuan ini bukan sekadar aspek spiritual, tetapi juga bisa dijelaskan secara ilmiah melalui neuroscience. Emotion regulation memengaruhi kerja otak, terutama di area prefrontal cortex dan amygdala, yang berperan penting dalam pengambilan keputusan, empati, dan pengendalian stres, serta kemampuan kognitif.
Sementara itu belum banyak yang tahu bahwa emotion regulation punya pengaruh besar pada kemampuan dalam menurunkan tingkat stress, terutama yang chronic. Padahal chronic stress dan emotion regulation adalah lingkaran setan. Jika emotion regulation buruk, maka chronic stress juga semakin buruk. Begitu juga sebaliknya.
Christianity dari masa awal hingga sekarang (sepanjang 2.000 tahun lebih) mengajarkan cara menumbuhkan emotion regulation yang kemudian otomatis membentuk karakter prososial. Praktik ini menjadikan para pengikutnya cenderung lebih empatik, anti-kekerasan, damai, serta memiliki cognitive capacity yang lebih baik. Sejarah mencatat beberapa nama Christian scholars yang mengubah peradaban Eropa: St. Augustine, John Calvin, Martin Luther, Thomas Aquinas. Mereka bukan hanya dikenal sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai pemikir besar yang kontribusinya pada filsafat, teologi, dan moralitas turut memperkaya perkembangan ilmu pengetahuan dan nilai kemanusiaan.
Baru beberapa dekade terakhir sains menemukan ajaran Jesus dan Buddha terbukti memiliki dasar neuroscience yang kuat: praktik kasih sayang, empati, dan meditasi berdampak pada peningkatan neural connectivity di otak, memperkuat area di otak yang berhubungan dengan empati dan emotion regulation.
Satu perbedaan Jesus dengan Buddha adalah Jesus meminta murid-muridnya ntuk menyebarkan ajarannya ke seluruh dunia, membentuk gereja yang bersifat universal. Sementara itu, ajaran Buddha berkembang pelahan, secara bertahap. Namun sekarang ajaran Buddha mendunia sebagai mindfulness practice. Praktik ini bukan sekadar spiritual, tetapi juga telah berevolusi menjadi sebuah lifestyle modern yang dikenal sebagai mindfulness industry, industri global yang menghubungkan praktik meditasi dengan peningkatan kesehatan mental dan fisik.
Neuroplasticity dan Praktik Spritual