Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesehatan Mental Polisi Berada di Ujung Pistol?

26 Februari 2021   15:07 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:48 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dunia digemparkan oleh brutality yang dilakukan oleh polisi Amerika pada George Floyd di akhir bulan Mei tahun 2020 lalu. Leher Floyd tercekik karena terlalu lama ditekan lutut seorang polisi di atas aspal sebuah jalan di kota Minneapolis, Amerika. Polisi itu dan rekan-rekannya ogah mendengar permohonan orang-orang yang sedang berada di sekitar itu agar melepaskan leher Floyd. Polisi terus tak peduli sama sekali, bahkan saat Floyd sudah berhenti mengerang dan berhenti bernafas.

Kasus George Floyd itu bukan yang pertama di Amerika, tetapi sebelumnya sudah banyak terjadi. BBC memuat daftarnya di sini: https://www.bbc.com/news/world-us-canada-52905408 .

Apa penyebabnya?

Menurut BridgeUSA.org, sebuah LSM Amerika yang memperjuangkan demokrasi yang sehat, menyebut untuk menjadi polisi di Amerika hanya membutuhan training selama 21 minggu sebelum bertugas. Padahal di beberapa negeri Eropa butuh training selama beberapa tahun sebelum mulai bertugas.

Dua puluh satu minggu training di Amerika itu lebih banyak fokus pada penggunaan senjata api atau penggunaan kekerasan. Padahal semestinya, seperti di beberapa negeri Eropa, polisi juga harus belajar tentang de-escalation techniques, conflict-resolving, dan tentu juga sebelum diterjunkan bertugas harus memiliki jam terbang yang panjang dalam menghadapi situasi sulit (Sumber).

Itu tentu belum termasuk kondisi mental polisi yang harus selalu diawasi saat bertugas agar beban kerja polisi yang berat, lalu tidak memberi dampak yang berbahaya bagi masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

--o--

Kemarin, 25 Februari 2021, kita dikejutkan oleh berita seorang polisi, Bripka CS menembak 4 orang di sebuah kafe pada jam 0400 pagi hari di sebuah tempat hiburan malam di Cengkareng, Jakarta Barat. 3 tewas seketika, dan 1 orang terluka. Apa penyebabnya? Bripka CS cekcok dengan para korban soal tagihan minuman keras yang diminumnya.

Tentu orang banyak bertanya: Apa yang dikerjakan polisi pada jam 0400 pagi di sebuah tempat hiburan malam? Mengapa polisi minum hingga mabuk berat dan kehilangan kewarasannya? Mengapa polisi menyelesaikan cekcoknya dengan senjata api? Dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan lainnya.

Mungkin saja Bripka CS mendapatkan beban kerja yang berat, sehingga kesehatan mentalnya terganggu dan tak pernah ditangani dengan baik. Atau juga karena sebab yang lain yang belum diketahui, misalnya tumor otak yang bisa mendorong orang untuk melakukan kekerasan atau agresivitas. Atau bisa juga karena Bripka CS adalah seorang psikopat (tentu Bripka CS harus diperiksa untuk menyebut ini).

Tanpa pengetahuan yang cukup untuk menangani gangguan kesehatan mental itu, mungkin saja Bripka CS lebih memilih pergi ke tempat hiburan malam, dan lalu menggunakan minuman keras untuk conflict resolution (misalnya) yang dialaminya. Sehingga peran institusi Polri untuk menyediakan layanan kesehatan mental yang memadai untuk anggotanya menjadi sangat penting atau tak bisa diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun