Mohon tunggu...
M. Jojo Rahardjo
M. Jojo Rahardjo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan.

Sejak 2015 menulis ratusan artikel dan video seputar perkembangan neuroscience dan kaitannya dengan berbagai aspek kehidupan. M. Jojo Rahardjo dan berbagai konten yang dibuatnya bisa ditemui di beberapa akun medsos lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini yang Sesungguhnya Terjadi pada Joker Menurut Neuroscience

9 Oktober 2019   13:09 Diperbarui: 10 Oktober 2019   05:23 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: empireonline.com

Anda pernah mendengar ecstacy? Obat ini sering disebut obat untuk rekreasi atau clubbing. Obat ini sebenarnya bernama asli MDMA yang diciptakan oleh Alexander "Sasha" Shulgin, seorang ilmuwan Amerika yang baik hati, karena membagikan formula MDMA-nya secara gratis. MDMA ini diakui oleh dunia kedokteran jiwa sebagai obat yang efektif mampu menghasilkan kondisi positif di otak, sehingga mampu mengubah mood dan perilaku.

Itu sebabnya MDMA "sukses" dibuat oleh banyak orang biasa (bukan orang farmasi) dan dikenal dengan nama ecstacy karena siapapun yang menelannya akan merasa hidupnya lebih baik daripada biasanya. MDMA ini merubah mood dan perilaku orang menjadi lebih socialized. Itu sebabnya disebut obat untuk clubbing.

Namun saya mengingatkan Anda agar tidak mengonsumsi ecstacy, karena obat ini dibuat tidak dengan standar farmasi atau tidak dibuat dengan formula yang ketat sebagaimana disusun oleh Sasha. Ecstacy adalah obat yang dilarang oleh UU. MDMA sendiri hanya boleh dikonsumsi dengan resep dokter.

Setelah Joker berhenti menelan obat-obatnya, tentu kondisi otak Joker memburuk. Apalagi tekanan hidup menambah negativity di otaknya. Kemudian Joker juga mendapatkan fakta, bahwa ibunya adalah juga pengidap gangguan jiwa sejak Joker masih kecil. Itu artinya ia tak dibesarkan dengan kondisi lingkungan yang baik untuk tumbuh kembang jiwanya. Ia bahkan diolok-olok oleh pembawa acara talkshow comedy, Murray Franklin (diperankan oleh Robert De Niro). 

Dengan kondisi otak yang negatif seperti itu, tentu Joker lebih cenderung pada yang bukan kebajikan. Ia berencana bunuh diri awalnya, tapi malah membunuh pembawa acara (Murray) saat diwawancarai di studio TV. Sebelum melakukan pembunuhan itu ia bahkan mengakui di depan kamera TV, bahwa ia yang membunuh 3 orang di kereta beberapa waktu sebelumnya, karena marah dengan apa yang terjadi di sekitarnya.

Kisah Joker adalah kisah fiksi, atau setidaknya itu menggambarkan kehidupan perkotaan di negeri-negeri maju di tahun-tahun 80-an. Warganya saling tak peduli satu dan lainnya. Angka kejahatan dianggap sebagai bagian dari kehidupan perkotaan.

Negeri-negeri maju dewasa ini sudah berubah. Sejak tahun 2012 ada "World Happiness Report" (WHP) yang diterbitkan oleh PBB setiap tahun untuk mengukur tingkat kebahagiaan dari hampir semua negeri di seluruh dunia. Kebahagiaan di sini berarti juga tingkat positivity (kondisi positif di otak). 

Sejak 2 dekade terakhir kata kebahagiaan memang sudah didefinisikan lagi oleh neuroscience, terutama oleh seorang neuroscientist, Shawn Achor: "... Happiness gives us a real chemical edge on the competition. How? Positive emotions flood our brains with dopamine and serotonin, chemicals that not only makes us feel good, but dial up the learning centers of our brains to higher levels. They help us organize new information, keep that information in the brain longer, and retrieve it faster later on. And they enable us to make and sustain more neural connections, which allows us to think more quickly and creatively, become more skilled at complex analysis and problem solving, and see and invent new ways of doing things."

Negeri seperti Amerika (setting lokasi di film Joker) memang tak sebaik negeri-negeri Skandinavia menurut WHP. Amerika juga tak sebaik negeri-negeri Eropa lainnya. Tapi Amerika berada di urutan 19 yang jauh lebih baik daripada negeri-negeri di Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin. Bandingkan dengan Indonesia yang berada di urutan 92 tahun 2019 ini. Tentu urutan Indonesia itu sangat buruk, dan tak heran jika situasi sosial dan politik kita memprihatinkan.

Negeri-negeri maju, terutama negeri-negeri Skandinavia sekarang adalah negeri-negeri yang diisi oleh warga yang memiliki kondisi otak yang positif. Mereka bahkan cenderung pada kebajikan. Itu terlihat saat Eropa dibanjiri pengungsi dari Timur Tengah.

Ketika pemerintahnya bersikap sangat hati-hati dengan para pengungsi, warganya malah membuka pintu rumahnya lebar-lebar pada para pengungsi. Mereka tak peduli pada risiko adanya teroris penyusup di tengah pengungsi. Itulah gambaran mereka yang memiliki kondisi positif di otaknya. Mereka bisa mendahulukan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun