Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Money

Rakyat Masih Marah Karena Subsidi Harga BBM Dihapus

7 November 2015   07:49 Diperbarui: 7 November 2015   07:49 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

 

Dalam perbincangan dengan kawan-kawan yang sebenarnya hidupnya sudah mapan,  mereka umumnya masih mengkritik Jokowi yang menghapus subsidi harga BBM. Mereka masih marah kepada Jokowi yang menaikkan harga BBM dari Rp 6500 menjadi Rp 9.500,- Mereka masih marah meskipun harga BBM sudah diturunkan kembali menjadi Rp 7.300,- karena turunnya harga minyak dunia.

Harga BBM merupakan satu topik yang tidak pernah tuntas dibahas sehingga masih menyisakan pertanyaan yang  belum terjawab. Dahulu,  Kwik Kian Gie,  Menko Perekonomian di Era Presiden Megawati Soekarnopoetri paling gigih menolak adanya istilah subsidi harga BBM. Dalam berbagai dialog yang diselenggarakan stasiun televisi nasional, Kwik menjelaskan secara gamblang hasil pengkajiannya.

Katanya,  Indonesia termasuk negara penghasil minyak. Setiap hari hasil produksi minyak  mentah kita mencapai 900 ribu barel, yang dianugerahkan Tuhan secara gratis. Biaya yang dikeluarkan untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM dan biaya distribusinya hanya Rp 600,- per liter. Selanjutnya Pemerintah menjualnya kepada rakyat Rp 4500,- (harga BBM waktu itu, 2005) Jadi, menurut Kwik, sebenarnya tidak ada subsidi, dan bahkan rakyatlah yang memberikan subsidi kepada Pemerintah.

Tapi sekarang produksi minyak mentah Indonesia hanya sekitar 780 ribu barrel per hari. Sedangkan kebutuhan BBM meningkat menjadi 1.5 juta barrel perhari. Indonesia mempunyai kilang-kilang minyak yang sudah tua, sehingga hanya mampu memproduksi 300 ribu barrel per hari. Dengan demikian, impor BBM menjadi jauh lebih besar dari yang dihasilkan kilang-kilang minyak, yakni sekitar 1,2 juta barrel per hari.

Tetapi Indonesia mempunyai kelebihan produksi minyak mentah yang tidak bisa diolah oleh kilang minyak sebanyak 480 ribu barrel per hari. Kelebihan itu selanjutnya diekspor.  Karenanya ada kegiatan ekspor dan impor dalam urusan BBM. Maka ada dua harga BBM, yaitu BBM yang diimpor melalui Singapura,  dan harga BBM hasil kilang minyak Indonesia. Terakhir ada pemasukan dari penjualan minyak mentah yang diekspor.

Masalahnya,  bahkan sampai sekarang, Menteri ESDM  dan Pertamina yang mendapatkan tugas menyediakan BBM bagi rakyat Indonesia tidak mau transparan tentang rincian biaya BBM. Jika dibeli langsung dalam bentuk BBM jadi, bagaimana rincian biayanya sehingga sampai menjadi harga BBM di SPBU. Begitu pula, jika BBM dihasilkan dari kilang minyak. Jadi kita terpaksa menerima begitu saja harga premium sekarang (Rp 7.300,-) adalah harga tanpa subsidi.

Presiden Jokowi mengambil sisi praktisnya. Ia tidak hendak berdebat tentang ada tidaknya subsidi harga BBM. Ia menerima saja bahwa memang ada subsidi harga BBM, jumlahnya sangat besar, tetapi  sebenarnya salah sasaran. Yang disubsidi adalah rakyat yang tergolong kaya, yang mampu membeli motor dan mobil. Sedangkan rakyat miskin tidak mampu membeli motor, apalagi mobil, sehingga tidak membutuhkan premium atau solar.

Cara berpikir Jokowi tersebut seakan diperkuat oleh ekonom Faisal Basri.  Menurut Faisal, BBM hanya berkontribusi sangat kecil dalam biaya hidup orang miskin. Yang jauh lebih besar justru adalah biaya rokok. Oleh sebab itu, subsidi harga BBM itu sudah seharusnya dihapus. Artinya BBM akan dijual dengan  harga baru tanpa subsidi,  yang selama puluhan tahun dinikmati oleh rakyat lapisan menengah ke atas. 

Misalnya saja,  seorang eksekutif  perusahaan yang bergaji Rp 15 juta perbulan. Setiap bulan, mobilnya mengkonsumsi  premium sebesar  300 liter. Dengan penghasilan sebesar itu, sebenarnya ia mampu membeli premium tanpa subsidi, sekitar Rp 10.000 per liter.

Tapi Pemerintah selama puluhan tahun memberinya subsidi sekitar Rp 3.000 per liter, atau sebesar Rp 900.000,- per bulan. Subsidi yang ia terima jauh lebih besar, dibandingkan dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan Pemerintah kepada rakyat miskin sebesar Rp 150.000,- per bulan. Itupun diberikan paling-paling hanya 2 x 3 bulan saja, atau Rp 900.000,- Jadi jelaslah tidak adil.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun