Mohon tunggu...
M. Jaya Nasti
M. Jaya Nasti Mohon Tunggu... mantan profesional -

Hanya seorang kakek yang hobi menulis agar tidak cepat pikun

Selanjutnya

Tutup

Politik

NKRI dan Sentimen Anti Non Islam

12 Februari 2017   12:22 Diperbarui: 12 Februari 2017   12:29 1359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tiga hari lagi, 15 Februari 2017, akan berlangsung Pilkada di 101 daerah, termasuk di DKI Jakarta. Persaingan tersengit untuk merebut posisi sebagai gubernur  terjadi di Jakarta.  Tokoh-tokoh politik Islam dan para ulama dari kelompok Islam radikal berjuang keras untuk membangkitkan sentimen agama umat Islam. Mereka melakukan provokasi,  Jakarta harus dipimpin oleh seorang gubernur muslim.  Untuk itu mereka menggunakan dalil-dalil dari ayat al-Quran yang mereka tafsirkan sendiri;  haram hukumnya memilih pemimpin dari agama lain, karena mereka orang kafir. Bahkan ada yang menyatakan kafir hukumnya bagi umat Islam memilih non muslim menjadi gubernur.

Jelaslah membangkit sentimen agama dalam hal ini Islam,  merupakan suatu kesalahan fatal dan langkah mundur. Soalnya para bapak bangsa Indonesia, setelah berdebat panjang, akhirnya bersepakat Indonesia bukanlah negara Islam. Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Siapapun asalkan memenuhi syarat kualifikasi dan kompetensi, serta mendapatkan suara terbanyak dari rakyat melalui pilpres dan pilkada, berhak menjadi presiden, gubernur, bupati, dan walikota.

Cara pikir para tokoh Islam zaman sekarang ternyata jauh lebih mundur. Pada hal pada 1950, Mohammad Natsir selaku Ketua Partai Islam terbesar, Masyumi, justru mengambil insiatif untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan, yang sekarang kita sebut NKRI. Hal itu disampaikannya melalui pengajuan sebuah mosi ke Parlemen, yang disebut Mosi Integralis. Inisiatif Moh. Natsir yang juga ulama dan tokoh politik Islam utama pada waktu itu, sudah mengesampingkan paham untuk menjadikan Indonesia negara Islam. Moh. Natsir memahami bahwa Indonesia terdiri dari beragam suku dan juga agama. NKRI tidak akan terwujud jika tokoh-tokoh politik non muslim tidak menyetujuinya.  

Sejak KMB yang berisi pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada 1949, maka Indonesia adalah negara federal yang diberi nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Akan tetapi  dibalik pengakuan kemerdekaan Indonesia itu sebenarnya tersembunyi akal bulus Belanda yang hendak menjadikan Indonesia negara yang selalu lemah. Belanda hanya mengakui Indonesia sebagai negara federal dengan 16 negara bagian yang hampir semuanya bentukan Belanda sendiri. Ada Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dan sebagainya.

Mohammad Natsir mengajak tokoh politik lintas etnis dan agama untuk memperjuangkan Indonesia menjadi NKRI. Di antara tokoh politik yang diajak itu adalah J. Kasimo dari Partai Katolik, Tambunan dari Partai Kristen. Mereka ternyata juga setuju dengan wacana NKRI yang disampaikan Moh. Natsir.   Perdana Menteri  Mohammad Hatta menerima baik mosi tersebut dan berjanji akan menjadikannya sebagai pedoman. Maka akhirnya pada 17 Agustus 1950, Presiden Soekarno mengumumkan Indonesia sebagai NKRI. Lalu pada 5 September 1950, Mohammad Natsir ditunjuk menjadi Perdana Menteri untuk merealisasikan NKRI tersebut.

Menjadi NKRI artinya menerima fakta bahwa Indonesia bersifat bhinneka Tunggal Ika. Jadi seharusnya perdebatan tentang dasar negara tidak ada lagi. Tidak seharusnya ada lagi pikiran hendak mengubah dasar  negara  menjadi sebagai negara Islam yang didasarkan atas syariah.

Tapi itulah, para tokoh politik Islam dan para ulama masih berpikiran untuk memperjuangkan Indonesia sebagai negara berdasarkan syariat Islam dan hendak menjadikan al-Quran dan al-Hadist sebagai konstitusi. Lalu bagaimana halnya dengan warga negara non muslim. Mereka dengan gampangnya menyatakan bahwa warga negara non muslim hendak dijadikan warga negara kelas dua, yaitu warga negara yang berada dalam perlindungan Pemerintahan Islam yang disebut “ahlu zimmy”.

Sebagai negara demokratis, mungkin wacana Indonesia sebagai negara Islam masih boleh diperjuangkan, tetapi hanya di DPR atau MPR. Perdebatan boleh terjadi di sidang-sidang MPR tentang dasar negara. Akan tetapi, para tokoh Islam dan ulama radikal, justru ingin cepat-cepat. Mereka membawanya ke jalanan. Mereka  memprovokasi dan memancing emosi umat Islam untuk tidak memilih Gubernur Jakarta  yang non muslim. Untuk itu, mereka menuduh Cagub petahana yang non muslim itu menghina ajaran Islam,  dan kemudian menuduhnya menghina dan melecehkan para ulama.

Maka pada 15 Februari 2017 adalah hari penentuan. Kita akan melihat apakah rakyat Jakarta akan termakan isu dan provokasi para tokoh Islam dan ulama radikal itu, atau sebaliknya.

Sekian dan Salam Kompasiana

M. Jaya Nasti

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun