Mohon tunggu...
Mj Jafar Shodiq
Mj Jafar Shodiq Mohon Tunggu... Dosen - Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Direktur PT Mukti Lintas Media Owner Nuslembabershop Owner Majapahit Rental Owner Avra Pimpinan Redaksi Hidayatuna.com Direktur Lembaga Tunas Muda Cendekia Pendiri ITHLA (Organisasi Persatuan Mahasiswa Bahasa Arab Se Indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kajian Kritis Orientalis terhadap Perbedaan Qira'at Al Quran

15 April 2021   14:21 Diperbarui: 15 April 2021   14:39 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mj. Ja'far Shodiq (Peneliti di Lingkar Santri Indonesia)

Munculnya keragaman bacaan Alquran menjadi satu pintu masuk untuk menggulirkan keraguan sebagian kalangan terhadap otentisitas teks Alquran. Ignaz Goldziher seorang orientalis Yahudi asal Hungaria yang tertarik dalam mengkritik hal ini. Ia mengatakan bahwa qira'at teks Alquran yang berbeda-beda kadangkala mencerminkan satu titik orientasi yang mengingatkan bahwa teks Alquran yang diterima secara luas sebenarnya bersandar pada keteledoran penyalin teks naskah sendiri. Bagi Goldziher, dibakukannya cara baca serta pembukuan Alquran oleh khalifah Utsman bin Affân itulah yang memunculkan polemik seputar otentisitas mushaf Utsmânî. Didorong oleh motivasi mengumpulkan qira'at lemah dan menyimpang, Gotthelf berupaya mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalawayh.[1]

Ignaz Goldziher yang  pernah menjadi mahasiswa di al-Azhar Mesir, menjelaskan dengan mendetail mengenai penyebab perbedaan qira'at. Goldziher menyatakan:

"Lahirnya sebagian besar perbedaan (qira'at) tersebut dikembalikan pada karakteristik tulisan Arab itu sendiri yang bentuk huruf tertulisnya dapat menghadirkan suara (vokal) pembacaan yang berbeda, tergantung pada perbedaan tanda titik yang diletakkan di atas bentuk huruf atau dibawahnya serta berapa jumlah titik tersebut. Demikian halnya pada ukuran-ukuran suara (vokal) pembacaan yang dihasilkan, perbedaan harakat-harakat (tanda baca) yang tidak ditemukan batasannya dalam tulisan Arab yang asli memicu perbedaan posisi i'rab (kedudukan kata) dalam sebuah kalimat, yang menyebabkan lahirnya perbedaan makna (dalâlah). Dengan demikian, perbedaan karena tidak adanya titik (tanda huruf) pada huruf-huruf resmi dan perbedaan karena harakat yang dihasilkan, disatukan, dan dibentuk dari huruf-huruf yang diam (tidak terbaca) merupakan faktor utama lahirnya perbedaan qira'at dalam teks yang tidak punya titik sama sekali atau yang titiknya kurang jelas."[2]

Goldziher menjelaskan dengan mengikuti perbedaan bacaan diantara sarjana qira'at pada lafadz yang menunjukan turunnya malaikat, apakah itu نُنَزّل atau تنزل atau diturunkan تُنزل maka secara praktis menunjukan bahwa sebuah pengamatan yang obyektif mengenai perbedaan harakat, turut berperan dalam menyebabkan munculnya perbedaan qirâ'at.

Akan tetapi, menurut Abdul Halim al-Najar, qira'at dari Surat al-A'raf ayat 48 yang menjadi justifikasi Goldziher di atas sama sekali tidak bisa menjadi pedoman, baik dalam tujuh qirâ'at maupun qirâ'at empat belas. Menurutnya, qirâ'at tersebut merupakan qirâ'at yang mungkar dan tidak diketahui secara definitif siapa yang membacanya.Sedangkan qirâ'atSurat al-A'raf ayat 57, Abdul Halim menegaskan bahwa qira'at ini telah pasti, dengan men-dlamah-kan nun dan men-sukun-kan syin (Nusyran) dari jalur Ibnu Amir, salah seorang sarjana qira'at tujuh. Dan dengan men-dlamah-kan nun dan syin (Nusyuran) dari jalur Nafi', Ibnu Katsir, Abu Amr, Abu Ja'far dan Ya'qub. Sarjana yang sejalan dengan mereka adalah Ibnu Mahisin dan Yazidi, sedangkan Hamzah, Kisa'i dan Khalaf membaca dengan nun yang berharakat fathah dan syin yang disukunkan (Nasyran) dengan berkedudukan sebagai masdar yang menempati tempatnya hal. Dari sini jelas, bahwa acuan dalam hal itu adalah kemutawatiran riwayat, bukan keadaan tulisan.

Kritikan tajam melebihi Goldziher adalah intelektual muslim Luthfi Assyaukanie berpendapat bahwa Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.

Lebih lanjut Luthfi menjelaskan bahwa dimulai adanya mushaf Utsmani yang merupakan “pemaksaan Penyeragaman” dari berbagai mushaf yang telah tersebar pada zaman sahabat.Versi bacaan (qira'at) adalah satu jenis pembacaan Alquran.Versi bacaan (qira'at) adalah satu jenis pembacaan Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.[3]

Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva).  Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’lamu atau bi’ilmi.[4]

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban. Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn Kasir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).  Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun