Mohon tunggu...
Paramita Asri Widyastuti
Paramita Asri Widyastuti Mohon Tunggu... Lainnya - history junkie

Thought has no gender

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Iran dan Arab Saudi, Perang Dingin di Kawasan Timur Tengah

15 Juni 2020   15:17 Diperbarui: 15 Juni 2020   15:13 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Awal tahun 2020, datang berita cukup mengejutkan ketika Amerika Serikat meluncurkan serangan rudal ke Bandara Internasional Baghdad, Irak dan menewaskan Jenderal Iran dan pemimpin pasukan al-Quds, Qasim Soleimani pada (insert tanggal). Kemudian, Iran pun membalas dengan mengirimkan puluhan rudal ke pangkalan militer Amerika Serikat di Irak xx hari setelahnya. 

Serangan ini pun memunculkan spekulasi dunia, akankan serangan ini menjadi pemicu perang antara Iran dan Amerika? Mengingat, ketegangan antara dua negara telah terjadi sejak 4 dekade lalu, dan saat ini telah mengkeruh dengan bentuk dukungan Iran kepada militan- militan oposisi yang dianggap kelompok teroris oleh Amerika Serikat.

Tak hanya dengan Amerika Serikat, hubungan Iran dengan negara- negara tetangganya di kawasan Timur Tengah pun cukup memanas. Salah satunya hubungan dengan Arab Saudi, apalagi, diketahui bahwa Arab Saudi memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat. 

Sebagian besar ketegangan berujung pada perang proxy antar negara, maupun perang antara kelompok oposisi dan pemerintah resmi (perang sipil). Salah satunya adalah perang antara kelompok hizbullah dengan Lebanese Armed Forces (LAF) di Lebanon, atau perang antara kelompok Houthi yang disinyalir mendapatkan bantuan dari Iran dengan pemerintah resmi Yaman dengan bantuan Arab Saudi. 

Dampaknya? Selain kehancuran dari sisi infrastruktur, wilayah yang menjadi medan perang juga dilanda kehancuran secara ekonomi yang berujung pada kelaparan dan gizi buruk.

Iran saat ini digadang- gadang menjadi emerging power di kawasan Timur Tengah, sedikit lagi menyalip Arab Saudi. Kedua negara memang terkenal sudah berada dalam posisi cold war, memperebutkan kontrol terhadap wilayah Timur Tengah. Keduanya sama- sama bergantung dari hasil minyak bumi, dan keduanya juga sempat memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat. 

Namun, hubungan Iran dengan Amerika Serikat sendiri berakhir ketika Iran melakukan revolusi pada tahun 1979, ketika sistem monarki dianggap melanggengkan opresi dan meningkatkan angka penganggurann. 

Revolusi ini berujung pada runtuhnya monarki Iran, perginya Shah Pahlevi (pemimpin tertinggi pada saat itu) mencari perlindungan ke Amerika Serikat, dan naiknya sistem pemerintahan baru. Begitupun hubungan Iran dan Arab Saudi, yang mulai merenggang seiring dengan naiknya Ayatollah Khomeini dan ketakutan Arab Saudi atas popularitas Khomeini yang ditakutkan dapat mempengaruhi rakyatnya.

Perselisihan Iran dan Arab Saudi juga dipengaruhi oleh perbedaan 'aliran' yang dianut keduanya, meskipun bukan penyebab utama, namun perbedaan ini juga merupakan unsur penting yang memicu ketegangan. 

Pada laporan CIA tahun 1980, Iran kemudian disinyalir mulai memberikan dukungan dan bantuan kepada kelompok- kelompok syiah militan di negara- negara lain untuk dapat melaksakan 'revolusi islam' juga. Berbeda dengan Iran yang mempersenjatai diam diam, Arab Saudi menjalin kerjasama dengan negara- negara monarki di Timur Tengah lainnya lewat Gulf Cooperation Council (GCC) untuk memperkuat legitimasi pemerintahannya pada tatanan regional. 

Tak hanya itu, Arab Saudi juga ikut memberikan bantuan ketika Irak melakukan invasi terhadap Iran pada 1980, yang kemudian berujung pada perang selama 1 windu. Bukan hanya ketakutan terhadap menularnya revolusi Iran, Irak juga berniat untuk menganeksasi wilayah Iran yang sejatinya dianggap merupakan milik Irak.

Tahun- tahun selanjutnya, perang- perang proxy ini terjadi di hampir seluruh wilayah Timur Tengah. Ditambah dengan terjadinya Arab Spring di tahun 2011, serangkaian demonstrasi yang menuntut reformasi pemerintahan agar beralih pada sistem demokrasi, dan menolak otoritarianisme yang selama ini mengakar. Adapun, dukungan yang diberikan akan selalu sama, Iran akan mendukung kelompok syiah, dan sebaliknya, Arab Saudi akan mendukung pasukan sunni.

Lalu bagaimana Iran dapat dikatakan menjadi emerging power? Salah satunya juga tak lepas dari peran Qasim Soleimani menjalin hubungan erat dengan banyak militan- militan syiah di Timur Tengah. 

Iran yang mulanya seakan- akan dimusuhi oleh negara- negara sekitarnya (selain karena tidak memiliki backing seperti negara lainnya, Iran juga merupakan negara pertama yang pemerintahannya dipegang oleh kelompok syiah), mulai pelan- pelan mengorkestrasi dan ikut menjaga kendali gerakan bawah tanah oposisi pemerintah pada regional Timur Tengah lewat pasukan Quds.

Ketika Irak dilanda vacuum of power setelah Saddam Hussein ditangkap oleh Amerika Serikat pada tahun 2003, Soleimani bergerak cepat untuk menancapkan pengaruhnya di wilayah Irak, menjalin hubungan dengan kelompok syiah yang hendak mengambil alih pemerintahan Irak dan menyingkirkan Amerika Serikat. 

Tak hanya Irak, Iran juga memberikan bantuan bagi pemerintah Suriah (yang saat itu dipegang oleh kelompok syiah) untuk mempertahankan Bashar Al-Assad dari ancaman untuk digulingkan. Bahkan, Iran (dibawah komando Soleimani) turut meminta bantuan dari hizbullah Lebanon, dan kelompok syiah Irak untuk dapat mempertahankan kekuasaan Bashar Al- Assad. 

Terakhir, meskipun Soleimani sudah tiada, yang sampai saat ini masih berhembus adalah dugaan bahwa Iran memberikan dukungan terhadap kelompok pemberontak Houthi pada Perang Saudara Yaman.

Posisi Iran saat ini dapat disimpulkan dari rekam jejak kemenangannya mendukung pasukan syiah dan pemberontaknya. Di Lebanon, pasukan hizbullah yang disokong oleh persenjataan Iran, berhasil mendapatkan jatah kursi di jajaran pemerintahan pada pemilu 2016, kemudian diikuti oleh naiknya Michael Aoun (yang notabene berasal dari kelompok hizbullah) ke kursi kepresidenan.

Sedangkan di Suriah, kekuatan yang dikerahkan untuk melindungi Bashar Al-Assad tidak sia- sia, Al-Assad tetap duduk di kursi pemerintahan tertinggi Suriah. 

Sisanya, wilayah lain seperti Yaman masih menjadi medan perang dan berkecamuk dalam perang sipil dengan pasukan houthi tanpa henti yang sampai saat ini membunuh sebagian besar populasinya dan menghancurkan Yaman.

Iran juga, secara parsial, menarik diri dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau kesepakatan nuklir Iran, menyusul keputusan senada dari Amerika Serikat.  

Sebelumnya, Amerika Serikat memutuskan untuk menarik diri dari JCPOA dan kembali memberikan sanksi baik ekonomi maupun sanksi terhadap aktor politik Iran yang dianggap telah mengacaukan kondisi regional. Penarikan diri ini disinyalir merupakan dampak dari serangan Amerika Serikat.

Tidak dapat dipungkiri, Iran berhasil menyatukan kekuatan aktor oposisi yang kemudian berdampak pada goyahnya kondisi regional Timur Tengah. Hal ini juga disadari oleh negara- negara yang selama ini menjadi musuhnya, utamanya Arab Saudi, yang terlihat kewalahan (sebagai pemegang status quo tertinggi di Timur Tengah) menghalau pengaruh- pengaruh revolusi di regional tersebut. 

Namun, keduanya belum bisa dibilang memenangkan perlombaan memperebutkan tombak pengaruh kekuasaan tertinggi di Timur Tengah. Beberapa perang sipil yang terus berjalan membuktikan bahwa kedua negara harus menurunkan masing- masing egonya, untuk dapat sama- sama mempertahankan stabilitas kawasan Timur Tengah yang tengah kacau dilanda berbagai konflik sipil.

Sumber

BBC. (2017, November 18). Apa yang melatarbelakangi perselisihan Arab Saudi dan Iran? Retrieved from BBC Indonesia:

CNN Indonesia. (2020, Januari 6). Respons Serangan AS, Iran Umumkan Langgar Kesepakatan Nuklir. Retrieved from CNN Indonesia

Laub, Z., & Kali. (2020, Januari 7). What Is the Status of the Iran Nuclear Agreement? Retrieved from Council on Foreign Relations

liputan6. (2019, Mei 8). Susul Langkah Kontroversial Trump, Iran Akan Keluar dari Kesepakatan Nuklir. Retrieved from liputan6

Spyer, J. (2017, November 21). Tehran Is Winning the War for Control of the Middle East. Retrieved from Foreign Policy

Venetis, E. (2011). The Rising power of Iran in the Middle East: Forming an axis with Iraq, Syria and Lebanon. Greece: Hellenic Foundation for European & Foreign Policy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun