PERAHU BERCADIK yang mereka tumpangi sarat. Bagaimana tidak? Perahu yang biasanya hanya untuk satu-dua orang, sekarang dimuati empat orang sekaligus. Lebih-lebih lagi, seorang di antara mereka, si Subo, bisa dihitung dua.
Mereka duduk berbanjar. Dari haluan ke buritan: Sakti, Sitok, Subo dan Konda.
Sitok dan Konda mendayung duluan. Sitok mendayung di sebelah kiri, Konda di kanan. Tiap ayunan dayung membuat perahu ikut berayun naik-turun, membuat jarak tepi perahu dengan muka air kadang tidak sampai sejengkal. Bagi yang tidak biasa melaut pasti merisaukan tipisnya jarak yang ada.
Sesampainya di tiang penanda gusung sebelah barat, Sakti menambatkan perahu pada tiang itu. Sementara di belakang, Konda menurunkan jangkar agar kedudukan perahu tidak berubah-ubah terbawa angin dan arus.
Kemudian mulailah mereka memancing dengan alat pancing yang sangat sederhana. Segulung tali pancing, kail, pemberat dan udang sebagai umpannya. Masing-masing melempar pancingnya ke arah yang disuka.
Sitok dan Subo melemparkan pancingnya ke arah selatan, ke rumpon yang ada di sana. Begitu umpan menyentuh air, nyaris seketika itu juga umpan keduanya di sambar ikan. Mereka berdua adu cepat menarik ikan yang seolah tiada habisnya. Akan tetapi, ikan-ikan yang mereka tangkap ukurannya hanya selebar dua-tiga jari.
Berbeda dengan Sitok dan Subo, Sakti dan Konda melempar pancingnya ke arah utara. Jauh dari rumpon, umpan mereka berdua jarang disambar. Namun sekali dapat, paling kecil seukuran telapak tangan.
Sementara menunggu umpan di sambar ikan, Sakti memperhatikan kain merah pada tiang penanda gusung yang berkibar tertiup angin. Kain itu gemerlapan tertimpa cahaya matahari. Masih baru. Baru diganti dalam rangka penyambutan Pesta Laut.
"Oi, Sakti!" panggil Konda. "Apa kau sudah diberitahu bapakmu?"
"Soal apa?" Sakti bertanya balik.