Mohon tunggu...
Jannu A. Bordineo
Jannu A. Bordineo Mohon Tunggu... Penulis - Pengarang

Jannu A. Bordineo, lahir di Gersik, sebuah kampung di Kabupaten Penajam Paser Utara yang sering disalah kira dengan salah satu kabupaten di Jawa. Lulusan teknik yang menggandrungi sastra. Mulai menulis cerita sejak ikut lomba mengarang cerpen sewaktu SD. Buku kesukaannya adalah Jiwa Pelaut karya Moerwanto. Temui dia di kedalaman hutan atau di keluasan lautan, karena dia pendamba ketenangan. http://www.lautankata.com/ fb.com/bordineo IG: @bordineo.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bab 6

16 Juni 2019   18:59 Diperbarui: 16 Juni 2019   19:17 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERAHU BERCADIK yang mereka tumpangi sarat. Bagaimana tidak? Perahu yang biasanya hanya untuk satu-dua orang, sekarang dimuati empat orang sekaligus. Lebih-lebih lagi, seorang di antara mereka, si Subo, bisa dihitung dua.

Mereka duduk berbanjar. Dari haluan ke buritan: Sakti, Sitok, Subo dan Konda.

Sitok dan Konda mendayung duluan. Sitok mendayung di sebelah kiri, Konda di kanan. Tiap ayunan dayung membuat perahu ikut berayun naik-turun, membuat jarak tepi perahu dengan muka air kadang tidak sampai sejengkal. Bagi yang tidak biasa melaut pasti merisaukan tipisnya jarak yang ada.

Sesampainya di tiang penanda gusung sebelah barat, Sakti menambatkan perahu pada tiang itu. Sementara di belakang, Konda menurunkan jangkar agar kedudukan perahu tidak berubah-ubah terbawa angin dan arus.

Kemudian mulailah mereka memancing dengan alat pancing yang sangat sederhana. Segulung tali pancing, kail, pemberat dan udang sebagai umpannya. Masing-masing melempar pancingnya ke arah yang disuka.

Sitok dan Subo melemparkan pancingnya ke arah selatan, ke rumpon yang ada di sana. Begitu umpan menyentuh air, nyaris seketika itu juga umpan keduanya di sambar ikan. Mereka berdua adu cepat menarik ikan yang seolah tiada habisnya. Akan tetapi, ikan-ikan yang mereka tangkap ukurannya hanya selebar dua-tiga jari.

Berbeda dengan Sitok dan Subo, Sakti dan Konda melempar pancingnya ke arah utara. Jauh dari rumpon, umpan mereka berdua jarang disambar. Namun sekali dapat, paling kecil seukuran telapak tangan.

Sementara menunggu umpan di sambar ikan, Sakti memperhatikan kain merah pada tiang penanda gusung yang berkibar tertiup angin. Kain itu gemerlapan tertimpa cahaya matahari. Masih baru. Baru diganti dalam rangka penyambutan Pesta Laut.

"Oi, Sakti!" panggil Konda. "Apa kau sudah diberitahu bapakmu?"

"Soal apa?" Sakti bertanya balik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun