Beberapa tahun lalu banyak program studi di Indonesia berlomba-lomba mengejar label "berstandar internasional." Akreditasi asing seperti ABET, ASIIN, ACQUIN menjadi incaran, dengan harapan meningkatkan prestise dan daya saing kampus. Saking hausnya, akreditasi dari AUN-QA juga diminati, padahal AUN bukanlah sebuah lembaga non akreditasi. Â
Tapi di balik semangat global ini, ada pertanyaan mendasar: apakah semuanya benar-benar sepadan? Sebab, biaya yang tidak kecil, bahkan mencapai miliaran.
Untuk akreditasi ABET (Amerika Serikat), sebuah program studi teknik bisa menghabiskan USD 25.000--40.000 per siklus (sekitar Rp400--700 juta) hanya untuk biaya resmi ke lembaga tersebut. Lembaga Eropa seperti ASIIN mematok biaya antara EUR 15.000--25.000 (Rp270--500 juta), tergantung bidang dan jumlah program. Itu belum termasuk biaya mendatangkan evaluatornya.Â
Biaya tambahan yang sering terabaikan justru kadang cukup besar, seperti tiket penerbangan evaluator dari luar negeri yang sering diminta kelas bisnis; akomodasi hotel bintang empat atau lima; transportasi lokal, konsumsi, dan tambahan lainnya.
Tidak jarang, semua itu dikemas dalam satu anggaran akreditasi yang totalnya bisa mencapai Rp800 juta hingga lebih dari Rp1 miliar untuk satu program studi. Bila kampus mengajukan akreditasi untuk beberapa prodi sekaligus, angka tersebut bisa berlipat. Ini tentu menjadi pengeluaran devisa yang signifikan. Sebuah perguruan tinggi di tanah air memiliki akreditasi ABET lebih dari 15 prodi keteknikan, sehingga bisa dihitung berapa pengeluaran akreditasi selama 5 tahun. Â
Dorongan Regulasi dan Insentif
Mengapa kampus ramai-ramai mengejar akreditasi internasional? Jawabannya bermacam-macam. Dari mulai kesadaran penjaminan mutu internal yang sudah ingin melampau standar nasional, mendorong mobilitas lulusan, hingga yang paling pragmatis, yaitu mengejar insentif kebijakan.Â
Sejak 2020, Kementerian Pendidikan melalui kebijakan Indikator Kinerja Utama (IKU) memberi poin khusus untuk reputasi internasional, termasuk akreditasi dari lembaga asing. Bahkan di masa awal implementasi IKU, kampus dengan capaian tinggi, termasuk yang memiliki prodi berakreditasi internasional, berhak memperoleh insentif finansial langsung dari Menteri.
Selain itu, regulasi seperti Permendikbud No. 5 Tahun 2020 dan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 menyebutkan bahwa akreditasi internasional yang diakui Kementerian dapat digunakan untuk pengakuan setara dan menjadi dasar evaluasi mutu. Maka tidak heran jika banyak pimpinan perguruan tinggi merasa terdorong, bahkan "berlomba", mengajukan akreditasi asing agar terlihat unggul di dashboard kementerian.Â
Bagaimana Negara Asia Lain?
Fenomena akreditasi internasional bukan hanya terjadi di Indonesia. Di berbagai negara Asia, pendekatan terhadap akreditasi internasional berbeda-beda, dan belum semua membangun sistem nasional yang kuat.