Beberapa waktu lalu, sekelompok Dekan Fakultas Hukum dari perguruan tinggi negeri se-Indonesia mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi.Â
Salah satu pasal yang mereka persoalkan adalah ketentuan mengenai pelaksanaan akreditasi oleh lembaga akreditasi mandiri (LAM) yang dibentuk oleh masyarakat.Â
Mereka berpandangan bahwa penjaminan mutu pendidikan tinggi merupakan kewajiban mutlak negara dan tidak boleh dilimpahkan kepada lembaga non-pemerintah.Â
Pandangan ini, jika kita cermati secara mendalam, tampaknya belum mempertimbangkan secara utuh bagaimana sistem hukum dan tata kelola negara modern bekerja, yakni melalui kolaborasi antara negara dan masyarakat.
Instrumen teknis bukan simbol kedaulatan
Akreditasi adalah instrumen teknis untuk menjamin mutu, bukan simbol kedaulatan. Negara tetap memiliki tanggung jawab besar melalui peran sebagai regulator, pemberi izin, dan pengawas.Â
Namun dalam pelaksanaannya, pelibatan lembaga independen atau masyarakat profesional adalah praktik umum yang sudah diterapkan di berbagai sektor strategis, termasuk yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Kita ambil contoh dari sektor ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan sertifikasi profesi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), yang berasal dari asosiasi atau dunia industri. Negara hadir melalui BNSP sebagai pemberi lisensi dan pengendali mutu.
Di bidang kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit memungkinkan akreditasi rumah sakit dilakukan oleh lembaga independen seperti Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS). KARS bukan lembaga pemerintah, namun diakui secara resmi dan menjadi standar nasional.
Contoh lainnya datang dari sektor energi. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi memberi ruang kepada badan usaha swasta untuk menjalankan kegiatan strategis dalam distribusi dan pengolahan energi, dengan tetap diatur oleh badan seperti SKK Migas dan BPH Migas.