Bayangkan ini: sebuah SMK Teknik Mesin di Jawa Tengah dengan bangga memajang piagam kerja sama dengan industri otomotif global. Tapi di bengkel praktik, satu-satunya mesin bubut sudah dua tahun tidak berfungsi. Sementara itu, siswa “magang industri” malah diminta fotokopi dokumen atau menjadi asisten satpam. Ilustrasi ini bukan sekadar satire.
Laporan Balitbang Kemendikbud tahun 2021 menyebut bahwa banyak siswa magang di industri hanya diberi tugas-tugas ringan yang tidak berhubungan dengan kompetensinya. Sementara itu, studi Bank Dunia (World Bank, 2020) tentang pendidikan vokasi (TVET) di Indonesia menemukan bahwa 42% kemitraan antara SMK dan industri tidak aktif meskipun sudah ada MoU, dan 67% industri menolak melibatkan siswa dalam pekerjaan teknis karena dianggap mengganggu produktivitas.
Inilah ironi sistem vokasi kita: penuh semangat kemitraan, tapi miskin komitmen kelembagaan. Di atas kertas, terlihat menjanjikan. Di lapangan, nyaris tanpa substansi.
Padahal, jika Indonesia ingin lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah melalui program hilirisasi industri, kuncinya bukan hanya membangun pabrik nikel atau smelter tembaga, tapi memastikan ada struktur permanen yang melatih generasi teknisi lokal, dan itu hanya bisa dilakukan jika sekolah dan industri benar-benar jalan bersama.
Belajar dari Mesin Keterampilan Jerman
Jerman dikenal dengan sistem pendidikan vokasinya yang sangat kuat, disebut dual system. Siswa belajar teori di sekolah (Berufsschule) 1–2 hari seminggu dan praktik langsung di industri selama 3–4 hari. Tapi kekuatannya bukan cuma di pola waktu, melainkan pada struktur kelembagaan yang permanen dan mengikat.
Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan Chambers of Commerce and Industry atau IHK (Industrie- und Handelskammer), semacam “KADIN versi wajib dan aktif.”
Di Jerman, semua perusahaan wajib menjadi anggota IHK. Keanggotaan ini bukan simbolis, tetapi operasional. IHK bukan sekadar forum bisnis, melainkan institusi yang terlibat langsung dalam penyusunan kurikulum vokasi, pelatihan teknis, pengujian kompetensi, hingga sertifikasi nasional.
IHK juga mengelola panel-panel sektor industri yang menyusun standar keterampilan dan menugaskan asesor industri untuk menilai siswa. Tanpa pelibatan IHK, pelatihan vokasi di Jerman tidak dapat berjalan.
Bandingkan dengan KADIN di Indonesia, yang keanggotaannya bersifat sukarela dan fungsi utamanya adalah sebagai asosiasi pengusaha, bukan badan pelaksana pendidikan vokasi. Meskipun KADIN pernah dilibatkan dalam program link and match, namun belum memiliki otoritas kelembagaan dalam penyusunan kurikulum atau penilaian keterampilan siswa.
Solusi: Bangun Struktur Kemitraan Permanen