Beberapa pihak mengeluhkan bahwa penjaminan mutu suatu program studi atau kampus melalui akreditasi hanya memperberat beban kerja dosen. Bahkan, ada yang mengeluhkan akreditasi membuat dosen tidak sempat menyiapkan perkuliahan, mengembangkan penelitian, atau melaksanakan pengabdian kepada masyarakat karena terlalu sibuk mengurus administrasi akreditasi. Namun, benarkah keluhan ini benar-benar berdasar, atau justru terlalu dibesar-besarkan?
Ada juga tuduhan bahwa akreditasi tidak menjamin kualitas pendidikan tinggi, bahkan dianggap hanya formalitas. Pernyataan seperti ini sayangnya kerap dilontarkan tanpa dasar akademis yang kuat. Padahal, akreditasi merupakan amanah dari UU No. 12 Tahun 2012.
Sejak lahirnya Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi maka diskursus penjaminan mutu pendidikan tinggi menjadi topik hangat karena akan berlaku efektif pada 18 Agustus ini. Peraturan ini memicu perdebatan serius. Apakah kampus benar-benar peduli pada mutu? Atau justru sibuk mengeluhkan akreditasi? Mari kita lihat lebih jernih.
Peringkat Akreditasi, Siapa Peduli?
Salah satu perubahan paling krusial dalam Permendikbudristek 53/2023 adalah penyederhanaan status akreditasi menjadi tiga kategori: “Terakreditasi”, “Unggul”, dan “Tidak Terakreditasi”. Di atas kertas terlihat sederhana, tapi dampaknya tidak sesederhana itu. Penghapusan kategori “Baik” dan “Baik Sekali” justru mengaburkan peta mutu program studi. Banyak prodi yang sebenarnya sudah berada di jalur peningkatan mutu akan tersamar dalam kelompok yang sama dengan prodi yang kualitasnya pas-pasan.
Padahal, peringkat yang lebih rinci sangat berguna bagi banyak pihak, termasuk lembaga beasiswa, instansi rekrutmen, publik pengguna lulusan bahkan mahasiswa dan kampus itu sendiri. Ketika semua disamaratakan, semangat perbaikan berkelanjutan bisa menurun. Ironisnya, penyederhanaan ini diduga dilakukan demi efisiensi anggaran.
Masalahnya, ini bisa menjadi bumerang. Jika hanya sedikit prodi yang mampu mengejar status “Unggul”, karena biaya dan kesulitan lompatan dari level dasar, maka beban biaya justru akan naik untuk menutup biaya operasional LAM yang tidak berubah. Biaya akreditasi “Unggul” bisa melonjak drastis hingga dua kali lipat.
Jika memang ada kekurangan dalam sistem akreditasi, solusinya bukan dengan menyederhanakan secara sembrono. Justru di sinilah perlunya evaluasi dan perbaikan bersama. Tanpa akreditasi yang kredibel dan bertingkat, siapa yang bisa menjamin mutu pendidikan tinggi kita di mata publik?
Manajemen Kampus buruk, Akreditasi dikutuk
Ritual akreditasi sebenarnya hanya dilakukan lima tahun sekali. Jauh dari terminologi beban kesibukan. Dan jika kampus memiliki sistem informasi yang baik, sebagian besar data bisa ditangani staf non pengajar.
Persoalan sebenarnya bukan pada akreditasinya, tetapi pada manajemen dan sistem informasi kampus yang belum tertata rapi. Proses verifikasi data menjadi sangat amburadul. Banyak kampus juga baru sibuk mempersiapkan akreditasi jelang tenggat. Jadilah akreditasi sebagai proyek dadakan. Seperti sebuah baju yang tidak jelas bentuknya karena jahitan di ambil dari bahan yang dicomot sana sini. Bahkan ada prodi yang nyaris kehilangan izin operasional karena kelalaian ini. Seorang asesor yang sangat berpengalaman akan mudah sekali melihat manajemen yang centang perenang pada sebuah dokumen Laporan Evaluasi Diri maupun Laporan Kinerja Program Studi.