Mohon tunggu...
Miskari Ahmad
Miskari Ahmad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ini Dosa Siapa?

20 September 2018   11:00 Diperbarui: 20 September 2018   12:58 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sistem perundang-undangaan yang ada di Indonesia telah memberikan batasan kepada putra-putri terbaik bangsa untuk muncul sebagai pemimpin. Sejumlah undang-undang tak berpihak sepenuhnya dalam memberikan kesempatan bagi para pemimpin muda yang memenuhi kriteria sebagai calon pemimpin.

Terlebih yang berasal dari kalangan kampus, karena kampus sesungguhnya adalah lumbung calon pemimpin, apalagi aturan yang mengharuskan PNS mundur dulu dari jabatannya untuk mendaftar jadi pemimpin, sehingga mereka ogah meninggalkan posisinya yang dirasa sudah mapan, maka parpol pun otomatis kekurangan orang-orang baik dan berkualitas.

Atau; karena mereka tidak memiliki modal untuk membayar para pemilih, juga tidak memiliki massa yang loyal yang siap berkorban tanpa imbal. Orang hebat sekalipun, tidak akan pernah menjadi pemimpin selama tidak memiliki uang melimpah untuk membeli suara untuk mengambil jatah.

Mayoritas, penduduk Indonesia muslim. Bahkan tidak sedikit para pelaku politik memiliki pengetahuan agama yang tinggi, tapi perlu disadari, bahwa untuk menjadi pemimpin di Indonesia, yang paling terlihat menyolok adalah kemampuan finansial yang dimiliki bagi setiap bakal. Maka persepsi yang mengakar di masyarakat umum tak bisa ditampik bahwa untuk menjadi pemimpin harus berasal dari kalangan kaya raya.

Sehingga wajar bila nama yang muncul ke permukaan dan calon dipilih hanya orang yang mukanya itu-itu saja. Meskipun calon tersebut adalah orang-orang bermasalah yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan sebagainya. Demokrasi kita hanya mampu mempertahankan kauntitas suara, bukan kualitas manusia.

Disisi lain, yang jadi masalah, masyarakat juga telah dimanjakan oleh kultur pemilihan yang ada selama ini. Masyarakat cenderung mengharapkan uang dari proses pemilihan, dan hanya orang-orang kayalah yang mampu memenuhinya. Sehingga berkembang di masyarakat, "Kalau tak punya fulus, jangan harap dicoblos". Bagi preman demokrasi di kampung, " Kami punya suara pasti sekian, dan kami pun punya suara mati sekian, wani piro?".

Istilah-istilah seperti, tidak lain karena masyarakat sudah dimanjakan dengan uang, apalagi keadaan ekonomi memang sedang sekarat, masyarakat dengan mudah diperalat. Padahal semua sadar, bahwa sakilipun membeli suara, termasuk bagian dari menyogok, di agama Islam pun sudah tegas, "Para penyogok dan yang disogok akan masuk neraka", tapi tetap saja, pelaku sogok untuk mendompleng suara tetap berkeliaran dimana-dimana.

Anehnya, ada sebagian dari mereka yang berpendapat, "Udahlah, ini pesta Rakyat, rakyat harus bergembira, jadi biarkan mereka menerima duit itu". Statemen seperti ini sungguh tidak pantas keluar dari mulut seorang politisi, sebab akan mengahcurkan citra demokrasi negeri ini. Ucapan demikian hanya akan membuat rakyat melarat dan tersiksa, baik duia maupun akhirat. Sebab dengan sadar atau tidak sadar, mereka telah memakan harta haram, walau hanya 50-100 ribu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun